LKS Masih Dijual di SMP Swasta Bandung: Regulasi Dipermainkan, Murid Jadi Korban
Jayantara-News.com, Bandung
Praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) oleh sejumlah SMP swasta di Kota Bandung masih marak terjadi. Fenomena ini memicu sorotan publik karena tidak hanya melanggar aturan resmi pendidikan, tetapi juga membebani orang tua murid dengan biaya tambahan yang tidak seharusnya ada.
Menurut Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, hanya buku teks utama dan nonteks yang disahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Badan Standar Nasional Pendidikan yang boleh digunakan di sekolah. LKS bukan bagian dari buku resmi tersebut. Pasal 11 Permendikbud itu juga menegaskan bahwa sekolah yang terbukti melanggar dapat dijatuhi sanksi mulai dari penurunan akreditasi, penangguhan bantuan, hingga pencabutan izin operasional bagi sekolah swasta.
Dari sisi hukum nasional, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara adil, tidak diskriminatif, dan tidak boleh dipungut biaya di luar ketentuan. Praktik penjualan LKS dapat digolongkan sebagai pungutan liar (pungli) yang melanggar prinsip tersebut. Bahkan, jika memenuhi unsur pemaksaan dan penyalahgunaan jabatan, praktik ini bisa terjerat pasal dalam UU Tipikor serta Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli.
Di tingkat daerah, Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pendidikan menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan wajib berlangsung merata, inklusif, dan tanpa beban tambahan yang memberatkan orang tua. Ditambah lagi, Pergub Jabar Nomor 165 Tahun 2021 yang mengatur Biaya Operasional Pendidikan (BOP) menjadi bukti keseriusan pemerintah daerah untuk mencegah praktik komersialisasi di sekolah.
Namun, kenyataannya, orang tua siswa masih dipaksa membeli LKS dengan harga Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per eksemplar, bahkan lebih dari lima judul setiap semester. Kondisi ini menambah beban finansial keluarga di tengah situasi ekonomi yang kian sulit.
“Ini jelas eksploitasi. Sekolah bukan lagi lembaga pendidikan, tapi seperti kios dagang. Orang tua dipaksa membeli, anak-anak dijadikan pasar,” ungkap salah seorang wali murid di Bandung Timur.
Sanksi Menanti Sekolah Nakal
Sekolah maupun guru yang tetap menjual LKS tidak bisa berlindung dari hukum. Berdasarkan Permendikbud 8/2016, sanksi yang menanti di antaranya:
Penurunan nilai akreditasi sekolah.
Penundaan atau penghentian bantuan pemerintah.
Rekomendasi pencabutan izin operasional sekolah swasta.
Jika praktik ini terbukti sebagai pungutan liar, maka aparat penegak hukum dapat menjerat pelaku dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Ancaman hukuman tidak hanya berupa denda, tetapi juga pidana penjara.
Maraknya praktik penjualan LKS di SMP swasta Bandung menodai semangat pendidikan gratis dan merata. Sekolah yang seharusnya menjadi pusat pembelajaran justru berubah menjadi arena bisnis terselubung. Jika tidak ada tindakan tegas dari Dinas Pendidikan Kota Bandung, Pemprov Jabar, maupun Kementerian Pendidikan, maka dunia pendidikan hanya akan terus dicemari praktik-praktik pungutan liar yang merugikan masa depan generasi muda. (Win)