Kisruh Tugboat di Sorong: Perusahaan Siluman Muncul, Oknum Aparat Diduga Bermain
Jayantara-News.com, Sorong
Kisruh kepemilikan kapal tugboat yang saat ini bersandar di Mapolda Papua Barat Daya semakin panas. Setelah sebelumnya muncul klaim dari PT. Mitra Pembangunan Global (PT. MPG) yang gagal melunasi utang kepada masyarakat adat, kini tiba-tiba hadir perusahaan bernama PT. Armada Prima Samudra (PT. APS) yang mengaku sebagai pemilik kapal melalui kuasa hukum kontroversial, Yosef Titirlolobi.
Padahal, berdasarkan perjanjian yang difasilitasi Polres Sorong Selatan pada Maret 2025, telah ditegaskan bahwa apabila PT. MPG tidak melunasi utang kepada masyarakat adat hingga 15 April 2025, maka kapal tugboat beserta tongkangnya beralih menjadi kompensasi hak ulayat kepada perwakilan masyarakat adat, Yesaya Saimar. Fakta ini disaksikan langsung oleh Kapolres Sorong Selatan kala itu.
Dengan demikian, klaim mendadak PT. APS justru menimbulkan kecurigaan adanya perusahaan siluman yang sengaja dihadirkan untuk merebut aset yang sejatinya sudah menjadi hak masyarakat adat sesuai kesepakatan.
Informasi yang beredar menyebutkan, nilai ekonomis dari tugboat bekas tersebut menjadi incaran sejumlah pihak. Dugaan menguat, terdapat oknum aparat di Mapolda Papua Barat Daya maupun Mapolres Sorong Selatan yang ikut bermain. Bahkan, nama Kombes Pol Junov Siregar, Direktur Reskrimum Polda Papua Barat Daya, disebut-sebut terlibat dan diduga mendapat dukungan politik dari Robert Joppy Kardinal, anggota DPR RI Dapil Papua Barat Daya dari Partai Golkar.
Situasi ini kian memperlihatkan bahwa kepentingan masyarakat adat terpinggirkan, sementara “permainan kotor” justru dibiarkan merajalela.
Lebih mengejutkan, Yosef Titirlolobi menuding Komisi I DPR Papua Barat Daya sebagai beking mafia besi tua. Tudingan ngawur ini muncul usai Ketua Komisi I, Zed Kadokolo, bersama dua anggotanya, Petrus Nau dan Robert George Yulius Wanma, meninjau langsung keberadaan kapal tugboat di lokasi sandar, Jumat (22/8/2025).
Padahal, fungsi DPR jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni melakukan pengawasan, menerima pengaduan, dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Artinya, langkah DPRP menindaklanjuti laporan masyarakat adat merupakan kewajiban, bukan bentuk keterlibatan dalam mafia.
“Itu tidak benar sama sekali. Kami menerima surat pengaduan langsung dari masyarakat dan menindaklanjutinya dengan meninjau lapangan. Tidak ada rekayasa, semuanya berjalan sesuai alur,” tegas Zed Kadokolo.
Hal senada disampaikan Robert George Yulius Wanma. “Kami adalah wakil rakyat. Kalau ada masalah di tengah masyarakat, kami wajib mendengar, bukan menolak. Kalau wakil rakyat tidak mau mendengar, untuk apa kami dipercaya rakyat?” tandasnya.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana masyarakat adat kembali menjadi korban. PT. MPG sebelumnya telah merugikan masyarakat adat dengan meninggalkan utang miliaran rupiah, bahkan sempat terjadi insiden penculikan terhadap Yesaya Saimar dan istrinya oleh oknum aparat Polres Sorong Selatan.
Jika kini tugboat yang seharusnya menjadi kompensasi atas wanprestasi PT. MPG kembali diganggu oleh klaim perusahaan siluman, jelas masyarakat adat semakin dizalimi.
Penelusuran media terhadap PT. APS menimbulkan tanda tanya besar. Informasi mengenai perusahaan ini sangat minim. Nomor WhatsApp yang tercantum justru dialihkan ke layanan AI Microsoft Copilot, sedangkan akun Facebook perusahaan menampilkan pesan “halaman ini tidak tersedia”. Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa PT. APS hanyalah kendaraan hukum buatan untuk mengaburkan persoalan. (Tim/Red)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaraperkasa@gmail.com. Terima kasih.