Senja yang Menyimpan Namamu
Jayantara-News.com – Pangandaran
Di sebuah kota kecil yang sunyi, di antara jalanan berdebu dan pepohonan flamboyan yang sedang berbunga, cinta itu bersemi, diam-diam, rapuh, tetapi indah.
Namanya Aruna, gadis berambut hitam sebahu yang senyumnya sering menyamarkan luka. Ia hidup sederhana, lebih sering menghabiskan waktu dengan buku-buku tua peninggalan ayahnya. Sementara Raka, pemuda dengan sorot mata hangat, adalah kebalikannya: penuh energi, suka bergaul, dan sering menjadi pusat perhatian di sekolah mereka.
Pertemuan pertama terjadi begitu biasa, namun membekas. Raka terlambat masuk kelas, dan kursi terakhir yang kosong hanya ada di samping Aruna. Dari sana, percakapan kecil tentang pelajaran matematika berkembang menjadi perbincangan panjang soal mimpi, musik, dan arti kehidupan.
Hari demi hari, mereka semakin dekat. Ada saat di mana Raka menunggu Aruna di depan gerbang sekolah hanya untuk berjalan pulang bersama, meski jalannya berlawanan dengan rumahnya. Ada pula sore ketika Aruna dengan malu-malu membawakan bekal buatan ibunya, yang ia sisihkan agar bisa dimakan berdua di bawah pohon flamboyan.
Di mata orang lain, itu hanya remaja yang sedang larut dalam perasaan. Tetapi bagi mereka, setiap detik bersama adalah keajaiban kecil yang tidak ingin mereka lepaskan.
Waktu berjalan, musim berganti…
Raka tumbuh menjadi pemuda yang berani mengejar mimpinya. Ia merantau untuk kuliah, meninggalkan Aruna dengan janji yang sederhana:
“Tunggulah aku. Apa pun yang terjadi, aku akan kembali.”
Aruna pun tetap setia, meski hari-hari sunyinya dipenuhi rindu yang tak pernah bisa ia ucapkan kepada siapa pun. Ia menulis ratusan surat yang tak terkirim, menyimpan serpihan hatinya dalam catatan-catatan harian yang hanya bisa ia baca sendiri.
Namun hidup tak selalu memihak pada janji. Raka terhanyut dalam hiruk pikuk kota besar, dalam cita-cita dan ambisi yang menuntut pengorbanan. Sementara Aruna harus bertahan di kampung halamannya, mengurus ibunya yang sakit-sakitan.
Waktu yang dulu terasa begitu singkat kini berubah menjadi jurang panjang.
Hingga suatu hari, di ujung senja…
Aruna berjalan di tepian Pantai Pangandaran, di mana langit jingga seakan menyala, memantulkan warna emas ke permukaan air laut. Debur ombak berkejaran, seolah ikut menyimpan rahasia hatinya yang tak pernah padam. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan, seakan menjadi musik pengantar bagi rindu yang tak pernah selesai.
Rambut Aruna kini beruban, tubuhnya tak lagi sekuat dulu, tapi matanya masih menyimpan tatapan yang sama, tatapan seorang gadis yang pernah jatuh cinta.
Raka berdiri tak jauh dari situ. Rambutnya pun telah memutih, wajahnya dipahat oleh garis-garis usia, namun senyumnya tetap hangat. Ia akhirnya kembali, setelah sekian lama, membawa rindu yang menua bersama waktu.
Mereka duduk berdampingan di pasir yang basah, tanpa banyak bicara. Tak ada lagi janji manis, tak ada lagi rencana besar. Hanya keheningan yang sarat makna, ditemani suara ombak yang tak henti menyapa.
Aruna menatap matahari yang perlahan tenggelam.
“Lucu ya, Ka… dulu kita bertemu di pagi yang riuh. Sekarang, kita bertemu lagi di senja yang sepi.”
Raka menggenggam tangan Aruna yang bergetar, lalu berbisik,
“Tidak ada yang lucu, Na. Bagiku, senja ini hanyalah awal dari fajar yang baru. Selama masih ada namamu di dadaku, waktu tidak pernah benar-benar pergi.”
Air mata menetes, bukan karena sedih, tetapi karena lega. Mereka tahu, cinta itu mungkin tidak selalu bersama di sepanjang jalan, tetapi ia tetap setia menunggu di ujungnya.
Senja di Pantai Pangandaran pun menutup hari itu dengan bisikan lembut, menyimpan nama mereka di langit jingga, sebagai saksi, bahwa ada cinta yang tidak lekang meski usia memudarkannya. (Goes)