Biadab!!! Korupsi di Seragam Cokelat Kian Ganas! Oknum Polisi Paksa Kepsek Setor Miliaran dari Dana Pendidikan
Jayantara-News.com, Jakarta
Skandal korupsi di tubuh kepolisian kembali mencoreng institusi penegak hukum. Kali ini, dua anggota Polda Sumatera Utara ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap sekolah menengah kejuruan (SMK) terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan, dengan nilai mencapai miliaran rupiah!
Dua oknum polisi tersebut adalah Kompol Ramli selaku Ps Kasubdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sumut dan Brigadir BSP, penyidik pembantu di unit yang sama. Keduanya telah dipecat dengan tidak hormat dan kini ditahan di Rutan Bareskrim Polri.
Menurut Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, modus pemerasan dilakukan dengan memaksa kepala sekolah menyerahkan proyek DAK fisik ke pihak tertentu. Jika menolak, para kepala sekolah diancam dengan laporan fiktif terkait dugaan korupsi dana BOS.
“Para tersangka menggunakan kewenangan mereka untuk menekan dan memeras kepala sekolah. Jika menolak, mereka dikirimi surat aduan masyarakat (dumas) palsu,” ungkapnya.
Akibat tekanan ini, 12 kepala sekolah terpaksa menyerahkan fee senilai Rp4,7 miliar kepada tersangka. Dari jumlah tersebut, barang bukti berupa uang tunai Rp400 juta ditemukan di mobil tersangka yang sedang berada di bengkel.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Polisi juga membuka kemungkinan adanya tersangka lain yang terlibat dalam skandal ini.
Polisi Peras WNA Malaysia di DWP 2024, Duit Rp2,5 M Disita!
Bukan hanya rakyat Indonesia yang menjadi korban. Skandal pemerasan oleh polisi juga menimpa 45 warga negara Malaysia saat menghadiri Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Mereka ditangkap tanpa alasan jelas, diperiksa urine secara sewenang-wenang, dan dipaksa membayar tebusan untuk kebebasan mereka!
Menurut laporan BBC News Indonesia, sejumlah polisi berpakaian preman menghadang rombongan WNA Malaysia yang hendak kembali ke hotel. Tanpa bukti apa pun, mereka dibawa ke Polda Metro Jaya dan dicegah menghubungi pengacara atau Kedutaan Malaysia.
“Mereka hanya mengizinkan kami menghubungi keluarga, tapi komunikasi kami diawasi. Ponsel kami juga disita,” ujar Amir Mansor (29), salah satu korban.
Meski hasil tes urine sebagian besar negatif, mereka tetap dimintai uang hingga Rp800 juta. Setelah negosiasi, akhirnya mereka menyerahkan RM100.000 (sekitar Rp360 juta) ke rekening seorang pengacara yang diduga bekerja sama dengan oknum polisi.
Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim mengakui adanya pemerasan ini. Total 18 polisi dari Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Polres Jakpus, dan Polsek Kemayoran terlibat dalam skandal ini. Meski telah dicopot dari jabatan dan ditahan di tempat khusus, belum ada kejelasan apakah mereka akan diproses pidana.
Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan menilai pemerasan ini merupakan penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum. “Polisi menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan tes urine acak, yang seharusnya hanya bisa dilakukan dalam konteks penyidikan resmi,” ujarnya.
Kapolri Lemah! Reformasi Polri Mandek, Presiden Prabowo Harus Turun Tangan
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai skandal pemerasan yang terus terjadi membuktikan tidak adanya ketegasan di kepemimpinan Polri. Ia meminta Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, karena reformasi kepolisian dinilai mandek.
“Salah satu penyebab utama maraknya pelanggaran hukum di tubuh Polri adalah lemahnya kepemimpinan. Tidak ada konsistensi dalam penegakan aturan, dan kesan impunitas bagi anggota kepolisian yang melanggar hukum semakin kuat,” tegasnya.
Menurut Bambang, tanpa kepastian hukum, sulit bagi negara membangun stabilitas politik dan ekonomi yang sehat. “Polri adalah ujung tombak penegakan hukum. Jika institusi ini bobrok, kepercayaan publik akan semakin runtuh,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa reformasi kepolisian mutlak dilakukan, termasuk revisi UU Polri untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas aparat.
“Jika Polri terus-menerus dibiarkan bobrok, maka Presiden Prabowo harus turun tangan langsung untuk membersihkannya!” tutup Bambang. (Goes)