Fenomena Hukum di Negeri +062 Layaknya Mata Pisau: Runcing ke Bawah, Tumpul ke Atas
Oleh : Agus Chepy Kurniadi
– Pemimpin Redaksi Jayantara-News.com
– Ketua LBHK-Wartawan Jabar
– Ketua PPWI Jabar
JAYANTARA NEWS, Konoha
Ungkapan “Hukum di Indonesia Ibarat Mata Pisau, Tumpul ke Atas, Runcing ke Bawah” sering digunakan untuk menggambarkan ketidakadilan dalam penerapan hukum di Indonesia. Istilah ini mengkritik bagaimana hukum seringkali dianggap lebih keras terhadap masyarakat kecil atau orang yang kurang berkuasa (runcing ke bawah), sementara lebih lunak terhadap mereka yang memiliki kekuasaan, jabatan tinggi, atau kekayaan (tumpul ke atas).
Fenomena ini mencerminkan adanya disparitas dalam penegakan hukum, di mana orang-orang dengan kekuatan atau pengaruh seringkali lebih mudah lolos dari jerat hukum atau mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan rakyat biasa. Kritik ini banyak terdengar dalam kasus-kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan besar lainnya, di mana pelaku dari kalangan elit sering dianggap tidak mendapat sanksi yang setimpal.
Secara umum, ini mencerminkan tantangan dalam mewujudkan keadilan yang sejati dan merata di Indonesia, serta menjadi dorongan bagi banyak pihak untuk memperbaiki sistem hukum agar lebih adil dan transparan.
– Hukumnya Bagus, Penegak Hukumnya yang Kurang Bagus –
Pandangan bahwa “hukumnya bagus, para penegak hukumnya yang kurang bagus” mencerminkan pemahaman, bahwa kerangka hukum di Indonesia sebenarnya sudah baik secara prinsip dan peraturan. Undang-Undang yang ada telah mengatur banyak aspek dengan cukup rinci untuk menciptakan keadilan. Namun, masalah yang sering dihadapi adalah implementasinya, terutama terkait integritas dan kinerja para penegak hukum.
Masalah yang sering muncul antara lain:
1. Korupsi: Ada laporan dan tuduhan tentang suap atau uang pelicin di berbagai lembaga penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim.
2. Nepotisme dan KKN: Kasus-kasus di mana hubungan pribadi atau politis memengaruhi proses hukum, sehingga keadilan menjadi tidak obyektif.
3. Kurangnya Transparansi: Beberapa proses hukum di Indonesia masih kurang transparan, yang membuat publik tidak dapat dengan mudah mengawasi atau memahami jalannya penegakan hukum.
4. Kapasitas dan Profesionalisme: Terkadang, masalah juga muncul karena kurangnya kemampuan atau profesionalisme dari sebagian penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kompleks.
Karena itu, banyak yang setuju bahwa untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia, fokusnya harus lebih pada reformasi dalam lembaga-lembaga penegak hukum, peningkatan integritas individu, serta penguatan pengawasan eksternal untuk mengurangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. (Red)