Sindiran Pedas Wilson Lalengke: Senayan Panas Duluan, Dugaan Judi Bikin Nyali Politik Melempem!
Jayantara-News.com, Jakarta
Saat rakyat masih bergulat dengan harga sembako yang naik-turun seperti sinyal internet di pelosok, elite politik di Senayan justru menyajikan drama terbaru: “Dasco dan Dugaan Kasino yang Tidak Disebut Tapi Disebut”.
Majalah Tempo edisi 7 April 2025 meletupkan bara dengan satu kalimat: “Nama Sufmi Dasco Ahmad ikut mencuat.” Kalimat sederhana, namun efeknya meledak seperti petasan di ruang sidang DPR. Reaksinya cepat, emosional, bahkan lebih bersemangat dari sidang paripurna pengesahan UU kilat.
Habiburokhman, politisi Gerindra yang dahulu lantang membela kebebasan pers, kini tampil sebagai jaksa agung dadakan. Dalam pembelaan panjang yang mengalir deras seperti banjir kiriman, ia menyebut laporan Tempo sebagai “fitnah dan insinuasi tingkat tinggi.”
“Saya ini dulu korban pembredelan,” ucapnya bernada heroik. Ironisnya, kini justru ingin membungkam narasi yang menyentil kenyamanan koleganya.
Padahal, Tempo tidak pernah menyebut Dasco bermain judi. Mereka hanya menuliskan bahwa “namanya mencuat” dalam laporan investigasi tentang kasino darat dan online di Kamboja. Sama seperti menyajikan semangkuk bubur panas, lalu bilang “tidak menyebut siapa-siapa, tapi rasanya familiar.”
Reaksi politikus? Berlebihan. Membaca cover langsung menyimpulkan tuduhan. Seakan-akan siapa pun yang merasa disebut, memang punya sesuatu yang perlu disembunyikan.
Isu ini makin menarik bukan karena substansi dugaan, melainkan karena kecepatan para politisi merespons. Ketika DPR dituding sebagai lembaga terkorup, tak ada yang buru-buru menulis esai pembelaan. Tapi ketika disebut soal judi—meski sekilas dan samar—langsung ramai seperti rebutan mikrofon di rapat fraksi.
Seorang pengamat warung kopi menyindir, “Mungkin kalau soal korupsi udah kebal, tapi soal judi masih bikin gatal.”
Di tengah panasnya suasana, pernyataan Habiburokhman menuai respons keras dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, alumni PPRA Lemhannas RI 2012.
Wilson menyebut pembelaan membabi buta seperti itu adalah tanda matinya nalar kritis dalam kultur politik yang makin tebal pencitraan. “Loyalitas itu bukan berarti tutup mata. Kritik terhadap pejabat publik adalah bagian dari kontrol sosial yang sah dan dijamin konstitusi,” tegasnya.
Ia menilai sikap defensif Habiburokhman justru menunjukkan adanya ketakutan kolektif di kalangan elit. Ketakutan terhadap terbongkarnya sesuatu yang tidak ingin diketahui rakyat.
“Mengapa alergi terhadap kritik? Kalau memang bersih dan jujur, biarkan rakyat menilai. Jangan buru-buru menyebut pengkritik sebagai penyebar fitnah,” ujar Wilson.
Menurutnya, menyamakan kritik dengan ancaman stabilitas politik adalah pembelokan opini publik yang berbahaya. Itu bukan membela demokrasi, melainkan mengebirinya.
“Tugas wakil rakyat itu melayani, bukan melindungi kolega. Kalau kritik dianggap musuh, berarti mereka sudah lupa siapa tuannya—rakyat,” pungkas Wilson.
Ia menyerukan agar budaya “asal bapak senang” di DPR RI segera ditinggalkan. Yang dibutuhkan rakyat adalah transparansi dan akuntabilitas—bukan drama pembelaan atas nama loyalitas.
“Rakyat sudah muak dengan sandiwara politik. Kita butuh pemimpin yang tahan dikritik, bukan yang sibuk membuat narasi bela-membela,” tegasnya. (Tim/Red)