Bobrok di Balik Palu: Ketua PN Jaksel Diduga Terima Suap Rp60 Miliar demi Bebaskan Raksasa Sawit!
Jayantara-News.com, Jakarta
Aroma busuk suap dan kolusi kembali tercium tajam dari tubuh peradilan Indonesia. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam skandal suap jumbo senilai Rp60 miliar.
MAN diduga menerima suap untuk “mengondisikan” vonis bebas terhadap tiga raksasa korporasi sawit: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dalam perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
“Penyidik menemukan bukti kuat bahwa tersangka MS dan AR memberikan suap serta gratifikasi kepada MAN dengan total dugaan Rp60 miliar, atas perintah dan sepengetahuan pihak Wilmar Group,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Gedung Kartika, Sabtu (12/4/2025) malam.
Modusnya: suap tersebut diberikan agar majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ringan hingga bebas total terhadap tiga korporasi besar tersebut.
Selain MAN, tiga tersangka lain ikut diciduk, yakni Panitera Muda Perdata PN Jakut (WG), Advokat Marcella Santoso (MS), dan seorang pengacara berinisial AR. Mereka diduga menjadi aktor utama yang mengatur “jalan tol hukum” untuk kepentingan para konglomerat sawit.
Padahal, berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Maret 2025, para terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun… vonis yang dijatuhkan justru menyatakan bahwa perbuatan itu bukan tindak pidana (ontslag). Sebuah kejanggalan mencolok yang kini menemukan titik terang: disuap!
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut tiga korporasi dengan denda dan uang pengganti bernilai triliunan rupiah:
PT Wilmar Group: Denda Rp1 miliar + uang pengganti Rp11,88 triliun
Permata Hijau Group: Denda Rp1 miliar + uang pengganti Rp937,5 miliar
Musim Mas Group: Denda Rp1 miliar + uang pengganti Rp4,89 triliun
Namun, lewat tangan hakim yang diduga telah “disewa”, tuntutan tersebut berujung kebebasan dan penghilangan unsur pidana.
Kini, Kejaksaan Agung membidik pasal-pasal berat dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 KUHP.
Kasus ini menjadi potret buram wajah peradilan Indonesia: ketika palu keadilan dijual, hukum pun dikubur dalam-dalam bersama nurani yang telah mati. (Chepy)