Coreng Muka Peradilan: Terima Suap Rp7,5 Miliar, ‘Djuyamto’ Hakim Kasus Sambo & Hasto TERSUNGKUR!!!
Jayantara-News.com, Jakarta
Nama Djuyamto pernah harum di ruang-ruang sidang, dikenal publik sebagai hakim yang mengadili kasus-kasus besar seperti Ferdy Sambo dan Hasto Kristiyanto. Namun kini, citranya bak kaca pecah—retak dan memalukan. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal suap vonis lepas (onslag) kasus mega korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Djuyamto tak bermain sendiri. Dua koleganya, Ali Muhtarom (hakim ad hoc) dan Agam Syarif Baharudin (hakim anggota), juga ikut menenggak aliran dana haram tersebut. Djuyamto disebut menerima suap terbesar: Rp7,5 miliar. Sementara Ali Muhtarom kebagian Rp6,5 miliar, dan Agam Syarif Baharudin Rp6 miliar.
Yang lebih mengejutkan, penunjukan Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim bukan terjadi begitu saja. Ia dipilih langsung oleh Muhammad Arif Nuryanta—Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu—yang kini menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan dan turut terseret dalam pusaran kasus. Arif diduga menerima dana total Rp60 miliar dari pengacara Ariyanto Bakri untuk “mengatur” putusan onslag bagi pihak yang terlibat.
Sebagian uang suap itu disebut-sebut diserahkan dalam dua gelombang: Rp4,5 miliar sebagai “uang baca berkas”, dan Rp18 miliar dalam bentuk dolar AS untuk dibagi kepada para hakim. Pada akhirnya, pada 19 Maret 2025, putusan lepas benar-benar dijatuhkan. Sidang berubah menjadi panggung dagelan hukum.
Rekam Jejak Kontras Djuyamto: Dari Vonis Tegas hingga Vonis Bayaran
Sebelum kariernya ambruk, Djuyamto dikenal luas sebagai figur hakim aktif dan komunikatif. Ia pernah menjadi Humas PN Jakarta Selatan, anggota Komisi IV di Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), dan sempat bertugas di PN Jakarta Utara, Dompu, serta Bekasi.
Beberapa perkara besar yang pernah ia tangani:
Pembunuhan satu keluarga di Bekasi, dengan terdakwa Harris Simamora.
Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, di mana Djuyamto memimpin majelis hakim.
Kasus obstruction of justice oleh Ferdy Sambo, saat ia duduk sebagai hakim anggota.
Terakhir, Djuyamto menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan Hasto Kristiyanto melawan KPK. Ia menolak permohonan Hasto, menyatakan gugatan tidak sah karena menggabungkan dua isu hukum sekaligus.
Ironi Seorang Hakim yang Tengah S3 Bertema Anti-Korupsi
Lahir pada 18 Desember 1967, Djuyamto mengenyam pendidikan hingga S2 dan kini tengah menempuh studi doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS). Ironisnya, topik disertasinya berbunyi: Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif.
Sungguh paradoks. Saat sedang merumuskan konsep penegakan hukum responsif terhadap korupsi, ia justru tergelincir ke dalam lumpur suap bernilai miliaran rupiah. (Restu)