Demokrasi di Persimpangan Jalan: Ketika Hukum, Politik, dan Media Kehilangan Nurani
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com –
Indonesia hari ini tak ubahnya panggung besar yang dipenuhi lakon kepalsuan. Di balik layar, para elit memainkan skenario rumit yang sarat intrik kekuasaan. Hukum direkayasa, politik dikomodifikasi, dan media dikendalikan demi melanggengkan kepentingan segelintir orang yang rakus dan anti-kritik.
Rekayasa hukum menjelma menjadi alat represi. Pasal-pasal karet digunakan untuk membungkam suara kritis. Aktivis dibungkam dengan tuduhan makar, pejuang keadilan dijebloskan ke penjara, dan masyarakat yang bersuara justru dicap pembuat onar. Hukum, yang semestinya menjadi pelindung rakyat, justru menjadi senjata yang menakutkan.
Di ruang politik, etika telah lama ditinggalkan. Koalisi dibentuk bukan untuk memperjuangkan gagasan atau ideologi, melainkan transaksi kekuasaan belaka. Kursi kekuasaan diwariskan bak pusaka kerajaan. Wajah-wajah baru mungkin muncul di permukaan, tapi pola-pola lama terus dipertahankan dengan segala cara.
Sementara itu, media—yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi—telah banyak yang menjelma menjadi corong kekuasaan. Narasi dikendalikan, fakta diseleksi, dan opini disetir sesuai pesanan. Kebebasan pers menjadi ilusi, terutama ketika suara-suara independen justru disisihkan atau dibungkam melalui tekanan ekonomi maupun politik.
Demokrasi kita tengah berada di ujung tanduk. Ketika rakyat kehilangan akses terhadap kebenaran, dan hukum tidak lagi berpihak pada keadilan, maka kehancuran sebuah bangsa bukan sekadar kemungkinan—melainkan keniscayaan.
Ironisnya, di tengah kekacauan ini, rakyat dipaksa untuk tetap percaya bahwa semua baik-baik saja. Padahal, yang mereka rasakan setiap hari adalah ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidakpastian. Negeri ini seperti kapal besar yang kehilangan arah—bukan karena tak ada nakhoda, tetapi karena terlalu banyak tangan yang ingin menggenggam kemudi.
Kini, saatnya kita bertanya: sampai kapan kita membiarkan demokrasi ini terkikis oleh kepentingan? Sampai kapan kita membiarkan hukum dijadikan alat kekuasaan? Dan sampai kapan kita hanya menjadi korban dari pertunjukan yang dipaksa kita tonton? (Red)
Penulis adalah Pemimpin Umum Media Online Jayantara-News.com, Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jabar, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Konsultasi & Kontributor Wartawan (LBHK-Wartawan) Jabar