M. Arsyad, Sang Kaisar Terakhir: Warisan Peradaban dari Sriwijaya ke Priangan
Jayantara-News.com, Bandoeng
THE LAST EMPEROR I — M. ARSYAD
Di balik bayang-bayang kejayaan masa silam, nama Sriwijaya menggema sebagai pusat peradaban Islam dan maritim yang agung di tanah Melayu. Tak sekadar dikenal karena kekuatan armadanya yang menguasai jalur perdagangan, Sriwijaya adalah mercusuar ilmu dan dakwah yang sinarnya menembus batas zaman. Dari bumi Madinah, para ulama berdatangan, menjadikan Sriwijaya sebagai kiblat baru ilmu pengetahuan dan spiritualitas di Nusantara.
Para Sultan Sriwijaya adalah pemimpin yang utuh — negarawan, panglima, dan dai. Mereka membumikan nilai-nilai Islam lewat dakwah yang menembus pelosok tanah air, meninggalkan jejak berupa masjid, pesantren, dan pusat-pusat pendidikan Islam yang hingga kini masih berdiri sebagai saksi bisu kebesaran mereka.
Dari darah dan semangat yang sama, lahirlah M. Arsyad bin Ahmad bin Muhammad — The Last Emperor. Sosok visioner yang meninggalkan jejak agungnya di tanah Priangan. Bukan hanya sebagai penyambung estafet dakwah dari Sriwijaya, tapi juga sebagai penggerak ekonomi umat lewat usaha yang monumental.
Dengan semangat hijrah yang tak pernah padam, M. Arsyad menempuh jalan sunyi ke tanah Priangan. Di sana, ia tidak hanya mendirikan sekolah-sekolah dan pesantren sebagai benteng akidah umat, tetapi juga membangun fondasi ekonomi lewat industri dan pertanian. Pabrik dan perkebunan minyak sereh yang ia dirikan menjulang megah dari Priangan Timur hingga Jawa Tengah — sebuah langkah strategis yang menjadikan umat Islam sebagai pelaku, bukan hanya penonton, dalam roda perekonomian.
Di Sumedang, M. Arsyad mengukir sejarah sebagai pendiri industri minyak sereh terbesar di dunia kala itu. Bagi beliau, ekonomi dan dakwah adalah dua sisi dari mata uang perjuangan. Ia bukan hanya seorang saudagar, tetapi juga ulama yang memahami bahwa kekuatan umat tidak bisa dipisahkan dari ketahanan spiritual dan ekonomi.
Namun takdir menjemputnya di tengah perjuangan. Pada tahun 1939, di usia 57 tahun, Syech M. Arsyad wafat dalam perjalanan dari Tasikmalaya menuju Bandung — gugur sebagai pejuang, di jalan dakwah dan pengabdian. Ia meninggalkan dunia, namun tidak warisannya.
Namanya kini abadi, bukan hanya di batu nisan, tapi dalam setiap nafas pesantren, gema azan, dan aroma sereh yang tumbuh dari tanah yang pernah ia basahi dengan keringat perjuangan. (Lies))