Kota Tanpa Arah: Depok Dikepung Sampah, Pemimpin Diam Seribu Bahasa!
Jayantara-News.com, Depok
Kota Depok kini berada dalam situasi darurat sampah. Saatnya pemerintah berhenti menutup hidung dan mulai membuka mata. Sampah tidak hanya menumpuk di pinggir jalan, tetapi juga di jantung birokrasi yang mandul.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 2,1 juta jiwa (BPS 2024), volume sampah di Depok menyentuh angka 1.200 ton per hari. Tapi ke mana perginya semua sampah itu? Nyatanya, masih banyak warga yang terpaksa menyaksikan tumpukan sampah di depan rumah mereka – karena pemerintah gagal menyediakan sarana dan infrastruktur yang layak.
Setyawati, warga RW 18 Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cimanggis, mengungkapkan kepedihannya.
“Tidak ada bak sampah. Gerobak sampah keliling hanya membuangnya sementara di pinggir jalan pertigaan. Kalau truk sampah libur di hari Minggu, sampah membusuk, keluar air dan belatung. Baunya masuk ke ruang tamu saya,” keluhnya dengan getir.
Keluhan serupa juga datang dari Suhardi, warga Sukamaju, Cilodong. Setiap malam, ia menyaksikan tumpukan plastik dan karung sampah menghiasi pinggir jalan raya Jakarta–Bogor.
“Di depan pabrik kosong, bibir kali, jadi tempat buang sampah. Bahkan saya sering lihat pengendara motor berhenti hanya untuk buang sampah,” ungkap Suhardi.
Ia juga menyesalkan ketidakseriusan pemerintah:
“Orang buang sampah tidak kenal tanggal merah, tapi truk sampah malah libur. Kalau memang titik itu dijadikan TPS, ya sediakan armada tanpa libur. Ini bukan soal angkut-mengangkut, ini soal niat!”
Masalah klasik ini seharusnya bukan lagi soal teknis. Ini soal manajemen, leadership, dan integritas. Saat masyarakat terus dibebani iuran sampah Rp25.000–Rp35.000 per rumah, potensi retribusi mencapai puluhan miliar per bulan. Tapi pertanyaannya: Ke mana semua uang itu mengalir?
Jika sebagian besar dana hanya parkir di kantong petugas dan birokrat, maka solusi sistemik akan tetap jadi khayalan. Sampah pun bukan lagi sekadar bau tak sedap – tapi jadi simbol kegagalan dan kerakusan.
Lebih buruk lagi, ada pihak yang menjadikan sampah sebagai lahan bisnis kotor. Jika tak dikelola oleh orang yang benar-benar ahli, maka yang terjadi adalah produksi ‘sampah birokrasi’ yang lebih busuk daripada limbah rumah tangga.
Saatnya Walikota dan DPRD Kota Depok bertindak: tegas, kreatif, dan berpihak kepada rakyat. Cukup sudah setengah hati! Sampah bukan hanya persoalan lingkungan, tapi cermin kepemimpinan. Jangan sampai Depok berubah dari kota harapan menjadi kubangan keputusasaan.
Serahkan pengelolaan sampah kepada ahlinya. Bukan kepada mereka yang hanya ahli mengelak dan mengulur waktu. (Ben/Yun)