Mediasi Buntu: Masyarakat Adat Kaiso Bongkar Dugaan Kebohongan dan Pelanggaran Hukum oleh PT Mitra Pembangunan Global
Jayantara-News.com, Teminabuan, Papua Barat Daya
Upaya penyelesaian sengketa antara masyarakat adat Kaiso dan PT Mitra Pembangunan Global (MPG) kembali menemui jalan buntu. Mediasi lanjutan yang diadakan di Aula Mapolres Sorong Selatan pada Selasa, 16 April 2025, gagal mencapai kesepakatan, memperdalam ketegangan antara kedua belah pihak.
Mediasi tersebut dipimpin oleh Kasat Reskrim Polres Sorong Selatan, Ipda Calvin Reinaldy Simbolon, didampingi Kanit Reskrim Aiptu Abdul Karim. Dari pihak perusahaan, hadir Edy Yusuf dan Sawaludin, sementara masyarakat Kaiso diwakili oleh Yesaya Saimar bersama kuasa hukumnya, Simon Maurits Soren, S.H., M.H., serta Daud Makesanti dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Suku Kaiso.
Baca berita terkait:
Sejak awal, harapan besar disematkan pada pertemuan ini. Abdul Karim membuka mediasi dengan menyerukan penyelesaian damai atas masalah hak ulayat yang telah berlarut-larut. Ia kemudian mempersilakan pihak perusahaan, melalui Edy Yusuf, untuk merinci pembayaran-pembayaran yang diklaim telah dilakukan kepada masyarakat.
Namun, suasana mulai memanas saat Yesaya Saimar menanggapi rincian tersebut. Ia secara tegas menolak keterangan yang diberikan, bahkan menuduh data yang dipaparkan telah “dicoret-coret” tanpa dasar jelas selama mediasi berlangsung.
Ketegangan memuncak ketika Simon M. Soren mempertanyakan legal standing Edy Yusuf dan Sawaludin. Ia menanyakan apakah keduanya memiliki surat kuasa resmi dari PT Mitra Pembangunan Global, serta keabsahan rincian keuangan yang diajukan. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan bukti konkret oleh pihak perusahaan, yang semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap proses mediasi ini.
Lebih lanjut, Simon Soren mengajukan perhitungan baru berdasarkan kontrak kerja dan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Hasilnya, ditemukan selisih angka yang sangat besar dibandingkan dengan perhitungan perusahaan.
Pihak perusahaan bersikeras menolak perhitungan tersebut dan tetap berpegang pada data yang telah mereka ubah secara sepihak saat mediasi berlangsung.
Ketegaran kedua kubu dalam mempertahankan posisi masing-masing membuat mediasi berakhir tanpa hasil. Melihat tidak adanya titik temu, Simon Soren memutuskan menghentikan pertemuan. Ia, bersama Yesaya Saimar dan masyarakat Kaiso, meninggalkan ruang mediasi.
Sejumlah pakar hukum, dalam analisis mereka, menilai kegagalan mediasi ini sebagai cerminan masalah mendasar dalam penyelesaian sengketa hak ulayat di Papua.
Dr. Fransiscus Mandolang menyoroti pentingnya legalitas perwakilan perusahaan dalam setiap upaya mediasi.
Lanny Wauran mengingatkan bahwa hak ulayat merupakan hak konstitusional yang tidak boleh diperlakukan sekadar sebagai transaksi biasa.
Simon Tamaela menilai bahwa ketidakjelasan rincian pembayaran menunjukkan lemahnya itikad baik dalam proses mediasi.
Yohana Meidiana menegaskan bahwa penggunaan tanah adat tanpa kompensasi yang layak dan transparan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Dr. Adrianus Yarangga menambahkan, dalam konteks Papua, keberhasilan penyelesaian sengketa tidak hanya bergantung pada hukum nasional (hukum positif), melainkan juga harus memperhatikan struktur adat dan nilai-nilai budaya setempat.
Dasar Hukum yang Relevan:
1. UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2):
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 3: Mengakui hak ulayat masyarakat adat sepanjang masih ada dan menghormatinya selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 Ayat (1):
Menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat hukum adat wajib dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
4. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019:
Memberikan pedoman tentang pengakuan, pendaftaran, dan perlindungan tanah ulayat masyarakat hukum adat.
5. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 90:
Melarang pengusaha membayar upah di bawah upah minimum; berlaku jika terdapat penggunaan tenaga kerja masyarakat adat.
6. KUH Perdata Pasal 1320:
Menyatakan bahwa sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat: sepakat, cakap, objek tertentu, dan sebab yang halal.
7. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:
Mengatur bahwa mediasi bersifat sukarela dan memerlukan persetujuan kedua belah pihak.
8. UU Otonomi Khusus Papua No. 2 Tahun 2021, serta Putusan MK No. 35/PUU-X/2012:
Mempertegas hak masyarakat adat atas tanah dan hutan adat di Papua.
Ketidakmampuan pihak perusahaan menunjukkan surat kuasa resmi atau ketidakabsahan rincian pembayaran dapat membatalkan keabsahan keikutsertaan mereka dalam mediasi.
Penggunaan tanah tanpa kompensasi yang adil dan transparan dapat menjadi dasar hukum bagi masyarakat adat untuk mengajukan tuntutan ganti rugi atau gugatan hukum.
Prinsip penghormatan terhadap hukum adat dan nilai budaya lokal menjadi syarat mutlak dalam penyelesaian sengketa di Papua.
Kegagalan mediasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan hak ulayat dan kompensasi di tanah Papua, terutama ketika aspek legalitas dan transparansi perusahaan dipertanyakan. Hingga berita ini diturunkan, belum ada kejelasan tindak lanjut dari PT Mitra Pembangunan Global. (Tim/Red)