Mediasi Rasa Rekayasa: Masyarakat Adat Kaiso Dibohongi di Hotel Mewah, Kapolda Diminta Netral!
Jayantara-News.com, Teminabuan, Papua Barat Daya
Upaya mediasi yang digelar Kapolda Papua Barat Daya pada Sabtu (26/04/2025) di Hotel Swiss-Bel Sorong dinilai sebagai panggung pengaburan fakta oleh masyarakat adat Kaiso. Alih-alih menjadi ruang penyelesaian, pertemuan itu justru mempertegas ketimpangan dan upaya pemaksaan narasi sepihak.
Undangan yang disampaikan langsung oleh Kapolda kepada pemilik hak ulayat Yesaya Saimar dan kuasa hukumnya, Simon Soren, S.H., M.H., ternyata hanya menjadi formalitas. Di lapangan, pertemuan berubah menjadi ajang pembenaran sepihak tanpa dasar hukum yang kuat.
“Ini pertemuan terburuk. Edy Yusuf dan Sawaludin datang tanpa legal standing, tanpa surat kuasa, bahkan tak bisa menunjukkan satu pun bukti otentik bahwa mereka mewakili PT. Mitra Papua Global,” tegas Simon Soren.
Lebih parah lagi, masyarakat adat Kaiso tidak diberikan ruang untuk menyampaikan bantahan. “Kami digiring untuk menelan mentah-mentah paparan fiktif soal pembayaran yang tidak jelas asal-usulnya. Tak ada kontrak, tak ada bukti, tak ada tanda tangan pejabat resmi perusahaan,” tambahnya.
Pertemuan juga membahas soal pemindahan satu unit bangkai kapal tugboat dan tongkang dari Teminabuan ke Sorong, yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk protes. Bukannya mendapat perhatian substantif, justru langkah tersebut dipelintir seolah sebagai tindakan kriminal.
Padahal menurut Simon, konflik ini murni keperdataan. “Laporan polisi yang dibuat oleh Sawaludin seharusnya dihentikan (SP3), karena telah ada surat pernyataan bersama yang sah secara hukum. Hukum perdata bicara soal bukti dan kesepakatan. Tidak ada itu ‘perjanjian baru’—kecuali Anda sedang mengutip Injil,” ujarnya dengan nada tajam.
Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ketua Pokja Adat Mesak Mambraku, Roberth Wanma, dan Daniel Kapisa dari Dewan Adat III Bomberay. Namun sayangnya, tak satu pun pihak perusahaan tampil dengan dokumen sah.
Masyarakat adat Kaiso pun kembali menegaskan tuntutannya:
1. Pengakuan resmi atas hak ulayat sesuai UU Otsus No. 2 Tahun 2021.
2. Penyelesaian berdasarkan perjanjian awal yang telah ditandatangani.
3. Transparansi legal standing pihak mana pun yang mengatasnamakan PT MPG.
4. Penghentian kriminalisasi terhadap tokoh adat.
5. Keterbukaan aktivitas perusahaan di wilayah adat, termasuk logpon dan keuangan.
Simon Soren menutup dengan peringatan keras: “Kalau aparat tidak berdiri di tengah dan perusahaan terus bermain kotor, maka jangan salahkan masyarakat adat bila mereka mengambil langkah langsung di lapangan.”
Bagi masyarakat adat Kaiso, ini bukan semata urusan bisnis. Ini tentang harga diri, tanah warisan leluhur, dan martabat yang tak bisa dibeli. (Tim/Red)