Polres Majalengka Hentikan Kasus Poliandri, Wartawan Pengungkap Malah Dikriminalisasi! Ada Apa dengan APH?
Jayantara-News.com, Majalengka
Di tengah semangat reformasi dan supremasi hukum, penanganan perkara dugaan poliandri di Polres Majalengka justru mencederai rasa keadilan publik. Sebuah pernikahan ilegal yang terungkap dengan bukti-bukti konkret dan saksi mata dihentikan penyelidikannya begitu saja. Alasan klise: “tidak cukup bukti.” Namun lebih ironis lagi, wartawan yang membongkar skandal ini justru dikriminalisasi. Apakah ini potret negara hukum atau dagelan hukum?
Kasus ini bermula dari laporan Tata Wantara, suami sah dari Iyam Maryam, yang melaporkan istrinya karena menikah secara siri dengan pria lain, Abdul Aziz Zaidi, tanpa izin dan sepengetahuan dirinya. Diduga kuat, pernikahan itu bahkan melibatkan ZN, oknum pengurus organisasi Islam ternama, sebagai wali nikah sekaligus wali hakim.
Bukti-bukti yang dilampirkan pelapor antara lain:
– Video ijab kabul tanggal 23 Desember 2022.
– Pengakuan pelaku di depan media.
– Pernyataan saksi dari unsur ormas dan partai Islam.
– Dokumentasi keberadaan pelaku di lokasi pernikahan.
– Testimoni tokoh masyarakat yang dipublikasikan terbuka.
Namun anehnya, laporan ini justru di-SP3 alias dihentikan penyelidikannya dengan alasan “tidak cukup bukti.” Kejanggalan tak berhenti di situ. Wartawan investigatif Hendrato, yang mengangkat skandal ini ke ruang publik, malah dilaporkan oleh narasumber (ZN dan DK) ke Polres Majalengka. Dan hebatnya, laporan itu justru diproses dengan serius.
> “Saya menulis berdasarkan fakta dan kesaksian yang kuat, tetapi justru saya yang dipidanakan. Ini adalah bentuk nyata kriminalisasi pers dan pelecehan terhadap UU Pers,” tegas Hendrato.
Pasal Hukum Terkait:
Poliandri melanggar Pasal 279 KUHP tentang kejahatan terhadap perkawinan:
> “Barang siapa menikah dengan orang yang telah kawin secara sah, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 284 KUHP tentang perzinaan juga dapat dikaji bila terbukti ada hubungan dalam ikatan tidak sah saat masih terikat perkawinan.
Bagi aparat penegak hukum, merintangi atau mengabaikan penyidikan perkara pidana dengan bukti kuat bisa ditarik pada unsur Pasal 421 KUHP (penyalahgunaan wewenang). Penyidik yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam menangani perkara ini dapat dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, sebagaimana diatur dalam KUHP. Selain itu, mereka dapat dijatuhi sanksi administratif sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang mencakup penurunan jabatan, mutasi demosi, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Laporan terhadap wartawan yang memberitakan sesuai kaidah jurnalistik merupakan bentuk intimidasi yang bertentangan dengan:
– Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”
– Pasal 4 ayat (3) UU Pers: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
– Pasal 18 ayat (1) UU Pers:
> “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers… dipidana paling lama 2 (dua) tahun penjara atau denda paling banyak Rp500.000.000.”
Pertanyaan publik pun mencuat: Apakah Polres Majalengka mendukung praktik poliandri? Atau justru melindungi oknum tertentu?
Upaya konfirmasi telah dilakukan berkali-kali oleh gabungan media dan organisasi pers sejak Juli 2023 hingga April 2025. Surat resmi pun telah dilayangkan, namun Polres Majalengka memilih bungkam. Sebuah diam yang memekakkan telinga.
Organisasi pers yang bersuara antara lain: PPWI, GAWARIS, ASWIN, AWI, IWOI, FPII, dan LP3. Mereka menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap jurnalis adalah bentuk pembungkaman, pengingkaran terhadap keadilan, dan pelecehan terhadap profesi wartawan.
Kasus ini pertama kali mencuat melalui pemberitaan Jejak Investigasi dan kini kian terkuak dugaan adanya praktik kolusi serta perlindungan terhadap pelaku.
> Hukum di negeri ini seperti pisau: tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Jika wartawan pun tak bisa menyuarakan kebenaran, maka siapa lagi yang akan dipercaya publik? (Red)
Catatan Redaksi:
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel ini, Anda dapat mengajukan sanggahan atau koreksi sesuai Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kirimkan ke email: jayantaraperkasa@gmail.com.