Koperasi Desa Merah Putih: Dugaan Alat Kepentingan Elit dalam Bungkus Pemberdayaan
Jayantara-News.com, Bandung
Di balik slogan penguatan ekonomi kerakyatan, pembentukan Koperasi Desa Merah Putih justru menuai sorotan tajam. Alih-alih menjelma sebagai wadah pemberdayaan masyarakat, koperasi ini diduga kuat hanya menjadi instrumen politik terselubung yang dikendalikan segelintir elit lokal dengan aroma nepotisme yang nyata.
Minim Transparansi, Sarat Nepotisme
Pengamat kebijakan publik Agus Chepy Kurniadi menyebut, pelaksanaan program ini jauh dari prinsip good governance. “Budaya nepotisme masih sangat kental. Struktur pengurus koperasi tidak dibentuk secara terbuka, tetapi diisi oleh orang-orang dekat kepala desa dan tokoh lokal yang memiliki kepentingan politik,” ujarnya, Jumat (9/5/2025).
Mekanisme perekrutan pengurus koperasi yang tertutup diduga melanggar asas transparansi dan partisipasi anggota, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang menyebut bahwa koperasi harus berasaskan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi, serta dijalankan oleh dan untuk anggota.
Agus menyoroti fakta, bahwa banyak warga desa tidak pernah diajak bermusyawarah secara substansial. “Warga hanya dilibatkan sebagai formalitas, diundang, disuruh tanda tangan, lalu pulang tanpa tahu arah program atau struktur anggaran koperasi,” ujarnya.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 23 UU No. 25/1992, yang mengatur bahwa anggota koperasi memiliki hak suara dalam Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Ketika rapat hanya dijadikan simbolik, maka keputusan koperasi dapat dinilai cacat hukum secara prinsipil.
Beberapa kejanggalan juga ditemukan dalam proses pembentukan koperasi, antara lain:
1. SK Pembentukan tanpa Musyawarah Terbuka – Tidak ada dokumentasi yang menunjukkan musyawarah terbuka bersama masyarakat desa sebelum pembentukan koperasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan sebagaimana diminta oleh Kementerian Koperasi dan UKM dalam pedoman pendirian koperasi.
2. Penggunaan Dana Desa Tanpa Klarifikasi – Dugaan penggunaan fasilitas desa, termasuk dana desa, untuk mendukung koperasi tanpa persetujuan melalui Musyawarah Desa (Musdes), berpotensi melanggar Permendesa PDTT No. 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, serta membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
3. Afiliatif pada Agenda Politik Lokal – Terdapat pola kemunculan koperasi serupa di sejumlah wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Nusa Tenggara, menjelang Pilkada. Ini menguatkan dugaan bahwa koperasi hanya dijadikan alat politik untuk membangun citra tokoh tertentu.
Munculnya Feodalisme Gaya Baru
“Koperasi, jika dikelola secara elitis, justru menciptakan feodalisme baru di desa. Ekonomi rakyat dimonopoli, suara rakyat dibungkam. Ini bahaya laten,” tegas Agus.
Publik berharap agar instansi terkait, baik Dinas Koperasi, Inspektorat Daerah, maupun APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), segera turun tangan melakukan audit kelembagaan dan aliran dana, demi menjaga marwah koperasi sebagai entitas pemberdayaan yang sejati.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak penggagas Koperasi Desa Merah Putih. (Red/JO)