Alarm Kematian Demokrasi: Pembunuhan Pewarta TikTok di Lampung Tengah Wajib Diusut Tuntas!
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Media sosial kini telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat modern. Sebagai platform berbasis internet, media sosial seperti TikTok, YouTube, hingga Instagram bukan hanya sarana hiburan, melainkan juga wahana untuk menyampaikan pendapat, menyuarakan kritik, dan membagikan informasi kepada publik luas.
Hak untuk menyampaikan informasi melalui media sosial dijamin konstitusi. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Ketentuan tersebut diperkuat oleh sejumlah regulasi, antara lain:
– Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
– Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
– UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
– serta UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dengan demikian, setiap warga negara, termasuk pengguna media sosial seperti TikTok, berhak menyampaikan pendapat, membongkar kebusukan, dan mengkritik kebijakan publik, tanpa rasa takut akan intimidasi, apalagi pembunuhan.
Namun, hak konstitusional itu tercabik di Lampung Tengah. Seorang warga pengguna TikTok, yang dengan berani membongkar dugaan pemalsuan tanda tangan warga oleh oknum perangkat kelurahan terkait distribusi bantuan sosial, justru meregang nyawa. Ia dibunuh secara keji di Gunung Sugih. Ini bukan sekadar tindak kriminal biasa, ini adalah pembunuhan terhadap kebebasan berekspresi!
Kejadian tragis ini harus dilihat sebagai serangan brutal terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Bukan hanya hak hidup (Pasal 28A UUD 1945) korban yang dirampas, tetapi juga haknya untuk menyampaikan informasi secara bebas (Pasal 28F UUD 1945). Tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 170 KUHP bila dilakukan oleh lebih dari satu pelaku.
Lebih lanjut, informasi yang diangkat oleh korban bukan tanpa dasar. Dugaan kuat adanya praktik pemalsuan dokumen (berpotensi melanggar Pasal 263 KUHP) dan penyelewengan bantuan sosial seharusnya menjadi prioritas aparat penegak hukum untuk diusut. Sayangnya, justru suara rakyat yang mencoba membongkar skandal itu malah dibungkam secara permanen.
Kami mengecam keras tindakan biadab ini. Kami menuntut Kepolisian Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya. Tidak boleh ada satu pun pelaku yang dibiarkan lolos dari jerat hukum.
Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat dan komunitas pers, baik konvensional maupun media sosial, untuk bersatu melawan segala bentuk pembungkaman. Hari ini seorang pengguna TikTok dibunuh, besok bisa jadi giliran siapa saja yang bersuara.
Negara tidak boleh tunduk pada pelaku kekerasan. Demokrasi harus diselamatkan. Dan kebebasan berekspresi harus dijaga hingga titik darah penghabisan.
Jika negara diam, maka negara turut bersalah!
Penulis: Ketua Umum PPWI, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI Tahun 2012