APH dan Panggang Kepentingan: Ketika Penegakan Hukum Menjadi Ladang Transaksi
Oleh : Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Bandung
Di mata publik, Aparat Penegak Hukum (APH) adalah simbol keadilan, pelindung yang berdiri di antara hukum dan rakyat. Namun, realitas di lapangan sering kali memutarbalikkan citra ideal tersebut. Alih-alih menjadi wasit netral yang menyelesaikan konflik, sebagian APH justru tampil sebagai pemain yang ikut dalam pusaran permainan kotor, menukar keadilan dengan keuntungan, dan menjadikan hukum sebagai komoditas.
Hari ini, masyarakat tidak buta. Mereka melihat, mereka mengalami, dan mereka tahu, bahwa tidak sedikit perkara hukum yang mandek bukan karena kurang bukti, melainkan karena tidak cukup “pelicin” untuk mendorong berkasnya naik. Ada pula kasus yang ditarik-ulur bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk menyusun skenario siapa yang harus “menang” dan siapa yang boleh “dikorbankan”.
Maka tidak heran jika muncul istilah “hukum bisa dibeli, keadilan bisa dinegosiasikan”, dan ironisnya, itu bukan sekadar asumsi liar. Banyak masyarakat kecil, pelapor yang hanya ingin mencari keadilan, justru dihimpit tekanan, disuruh mondar-mandir tanpa kepastian. Sementara di sisi lain, perkara milik kelompok yang “berkuasa”, yang punya kedekatan dengan elite atau mampu menaruh amplop, bisa berjalan mulus tanpa hambatan.
Peran mediasi dan solusi? Nyaris tak terdengar. Fungsi penyejuk, penjembatan, dan penengah, kerap ditiadakan. APH tidak jarang berperilaku layaknya algojo berdasi, menggiring satu pihak pada ketakutan dan kebingungan hukum, tanpa kejelasan proses. Bahkan ada kasus, di mana pelapor malah berbalik menjadi tersangka, sementara terlapor yang jelas-jelas melakukan pelanggaran, bebas berkeliaran, dengan dalih “proses masih berjalan”.
Apa yang dipertontonkan sebagian oknum APH ini bukanlah penegakan hukum, tapi panggung transaksional yang dibalut formalitas. Surat panggilan, gelar perkara, hingga SP3, bisa menjadi alat tawar-menawar. Padahal, setiap langkah hukum seharusnya berpijak pada kebenaran dan keadilan substantif, bukan pertimbangan relasi atau kepentingan kelompok.
Ironisnya lagi, ketika masyarakat menggugat atau melaporkan ketidakadilan, mereka kerap dicap sebagai provokator, pengganggu stabilitas, bahkan diancam balik. Jalan hukum terasa seperti labirin berduri, di mana rakyat kecil hanya punya dua pilihan: diam, atau siap diseret ke palung intimidasi.
Kini, wajar jika kepercayaan publik terhadap penegak hukum terus merosot. Masyarakat sudah jengah. Mereka muak dengan sandiwara hukum yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat tetap menjadi bulan-bulanan sistem yang pincang.
Sudah saatnya kita berkata jujur: bahwa hukum kita sedang sakit. Dan penyakitnya bukan sekadar pada regulasi, tapi pada pelaksana hukumnya. Pada mereka yang memakai seragam kewenangan, tapi menjual nurani demi karir, demi jabatan, atau demi amplop.
Bangsa ini tidak akan maju jika hukum terus dijadikan alat barter kepentingan. Penegakan hukum yang ideal bukan hanya soal menangkap penjahat, tetapi juga memastikan bahwa prosesnya bersih, adil, dan transparan. Jika APH hanya menjadi pelayan bagi kekuasaan dan kapital, maka jangan salahkan rakyat jika suatu hari memilih untuk tidak lagi percaya pada hukum.
Karena hukum yang tak berpihak pada kebenaran, bukanlah hukum, tapi alat penindasan yang dibungkus legalitas. (Red)
Penulis adalah : Pemimpin Umum Media Online Jayantara-News.com, Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jabar, Ketua LBHK-Wartawan Jabar