Bandung Selatan di Ujung Tanduk: Miliaran Rupiah Berputar, Hutan Perhutani Tergerus Alih Fungsi!
Jayantara-News.com, Bandung
Hutan Perhutani di kawasan Bandung Selatan bukan hanya hamparan hijau yang menyejukkan mata, tetapi juga denyut ekonomi masyarakat yang menyimpan potensi luar biasa. Namun di balik keberhasilan yang dibanggakan, tersimpan ancaman serius: alih fungsi lahan yang diam-diam menggerus daya tahan ekologis kawasan tersebut.
Tercatat, sebanyak 9.046 petani hutan aktif mengelola dan memanfaatkan lahan hutan melalui kemitraan produktif bersama Perhutani. Mereka tersebar di 108 desa hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), menjalankan aktivitas budidaya kopi agroforestri, penyadapan getah pinus, pengelolaan wisata alam, hingga pemanfaatan hasil hutan non-kayu.
Baca berita terkait:
“Posisi petani ini sangat strategis bagi keberlanjutan hutan dan ekonomi masyarakat. Efek ekonominya luar biasa, menyerap tenaga kerja, menggairahkan desa hutan,” ujar Encang Suryana, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Perhutani Bandung Selatan, Senin (19/5/2025).
Yugo Pramono, Kepala Sub Seksi Pengembangan Bisnis Perhutani menambahkan, 92 persen petani fokus pada budidaya kopi. “Omzet dari kopi mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Belum termasuk dari wisata, getah pinus, dan jasa panen,” katanya. Dalam sistem tumpang sari, rata-rata petani mengelola dua hektar lahan, memanen hingga 3 ton kopi per tahun dan menyadap hingga 5 kwintal getah pinus per bulan.
Namun, kemegahan ekonomi itu mulai dikaburkan oleh realita di lapangan. Tokoh masyarakat setempat, Eyang Memet, mengungkap hasil survei yang dilakukan 2–3 hari terakhir. Ia menyoroti indikasi alih fungsi lahan yang merambah kawasan hutan di beberapa titik Bandung Selatan.
“Kami mengapresiasi keberhasilan yang ada, namun sebagai kontrol sosial, kami merasa perlu menyampaikan koreksi terhadap praktik alih fungsi yang menyimpang. Baik di wilayah PTPN, Perhutani, BKSDA maupun Geothermal, semua sedang kami telusuri lebih lanjut,” ujar Eyang Memet.
Aktivis lingkungan Badru Yaman turut menanggapi dengan tegas. “Kalau ditemukan adanya alih fungsi yang tidak sesuai aturan, harus dilaporkan. Ini ancaman serius,” ujarnya. Ia menyoroti penanaman sayuran semusim di ketinggian tertentu yang rawan longsor, serta kegagalan program alih komoditas dari sayuran ke kopi akibat tekanan budaya dan peran bandar.
Ironisnya, bencana banjir bandang di Ciwidey dua tahun lalu menjadi bukti nyata bahaya alih fungsi. Kala itu, lahan hutan dialihkan menjadi kebun stroberi, mempercepat degradasi lingkungan dan memicu bencana.
Perhutani mengklaim seluruh aktivitas tetap mengacu pada prinsip ekologi. “Kopi dipilih karena akarnya menyerap air dan memperkuat struktur tanah. Kami selektif dalam memilih mitra,” jelas Encang. Namun, kenyataan di lapangan tampaknya menuntut koreksi dan penegakan lebih tegas.
Tantangan utama ke depan bukan sekadar menjaga perputaran ekonomi miliaran rupiah, tetapi juga memastikan bahwa hijaunya hutan bukan kedok bagi praktik-praktik yang justru menghancurkan fondasi ekologisnya. (Goes)