PPWI Jabar Menyorot Carut Marutnya Penggunaan APBN/APBD yang Tidak Tepat Sasaran & Cenderung Jadi Ajang Korupsi
Jayantara-News.com, Jabar

“Penggunaan anggaran APBN/APBD yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memperkaya diri, menjadi salah satu masalah serius dalam tata kelola keuangan negara dan daerah.” Demikian diungkapkan Agus Chepy Kurniadi, selaku Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, yang intens menyorot segala bentuk kebobrokan di negeri ini.
Agus Chepy juga sampaikan, bahwa beberapa praktik yang sering terjadi terkait dengan hal itu, di antaranya meliputi:
1. Mark-up anggaran: Dimana harga barang atau jasa yang dibeli dengan dana APBN/APBD seringkali di-mark-up (dinaikkan harganya secara fiktif) untuk memberikan keuntungan pribadi kepada pihak yang terlibat. Hal ini menyebabkan anggaran yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk lebih banyak proyek atau program, malah berkurang karena keuntungan ilegal ini.
2. Pengadaan fiktif: Yakni adanya oknum-oknum tertentu sering membuat proyek atau pengadaan yang sebenarnya tidak ada atau tidak relevan, namun tetap dicatat dalam anggaran dan dilaporkan sebagai kegiatan resmi. “Ini adalah cara mereka untuk mengambil uang negara secara tidak sah,” ujarnya.
3. Kompensasi dan suap dalam proses tender: Dimana dalam proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN/APBD, praktik suap dan pemberian kompensasi kepada pejabat atau pihak berwenang seringkali terjadi, agar pihak tertentu bisa memenangkan tender. “Hal ini tentunya akan merusak sistem kompetisi yang sehat dan menyebabkan proyek yang dijalankan tidak berkualitas atau tidak sesuai standar,” ucap Agus Chepy Kurniadi.
4. Penunjukan langsung tanpa proses lelang: “Meski aturan menuntut adanya proses lelang dalam proyek-proyek besar, penunjukan langsung sering dilakukan sebagai cara untuk memastikan keuntungan bagi kelompok atau individu tertentu, yang tentunya melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas.”
5. Pemotongan dana hibah atau bansos: Dalam program bantuan sosial atau hibah, dana seringkali dipotong oleh oknum sebelum sampai ke penerima manfaat. “Ini tentunya mengurangi efektivitas bantuan dan merugikan masyarakat yang seharusnya menerima dana penuh,” urainya.
6. Kolusi dengan pihak swasta: Pejabat publik yang korup sering kali bekerja sama dengan pihak swasta dalam bentuk kolusi untuk menjalankan proyek-proyek yang sebenarnya tidak efisien atau bahkan tidak diperlukan. “Pihak swasta yang terlibat biasanya memberikan imbalan besar kepada pejabat tersebut sebagai balasannya.”
Praktik semacam ini, sambung Agus Chepy, tidak hanya merugikan keuangan negara atau daerah, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. “Untuk mencegah hal ini, dibutuhkan penegakan hukum yang tegas, reformasi birokrasi, penguatan sistem pengawasan keuangan, serta transparansi penuh dalam setiap tahap penggunaan anggaran. Penggunaan teknologi, seperti sistem pengadaan berbasis elektronik (e-procurement) dan aplikasi pemantauan publik terhadap penggunaan anggaran, juga dapat membantu mengurangi praktik-praktik korupsi ini,” sebutnya.
Di sisi lain, Agus Chepy juga menyoroti terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang carut marut dan tidak tepat sasaran, hingga berdampak serius pada kesejahteraan masyarakat serta pembangunan suatu daerah.
Agus sampaikan, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, antara lain:
– Korupsi dan penyalahgunaan wewenang: Dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik sering diselewengkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, sehingga program pembangunan tidak berjalan optimal.
– Perencanaan yang tidak matang: Kurangnya kajian mendalam dalam menyusun anggaran seringkali membuat program yang didanai tidak relevan atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang tidak prioritas, sementara sektor penting lainnya, seperti kesehatan atau pendidikan, terabaikan.
– Proses penganggaran yang tidak transparan: Kurangnya transparansi dalam proses penganggaran membuat masyarakat tidak dapat memantau dan menilai apakah dana yang dialokasikan benar-benar digunakan sesuai rencana. Hal ini dapat memicu terjadinya kebocoran anggaran.
– Koordinasi yang lemah antar lembaga: Ketidaksepahaman antar lembaga pemerintah dalam pelaksanaan program-program anggaran seringkali menyebabkan duplikasi proyek atau bahkan pembatalan proyek yang sudah direncanakan.
– Kurangnya partisipasi publik: Minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran membuat kebutuhan dan aspirasi masyarakat tidak terakomodasi dengan baik. Akibatnya, program yang dijalankan seringkali tidak tepat sasaran.
– Monitoring dan evaluasi yang lemah: Ketiadaan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif membuat kesalahan dalam penggunaan anggaran sulit terdeteksi sejak dini. Hal ini bisa memperpanjang praktik penyelewengan anggaran.
“Untuk mengatasi masalah ini, reformasi dalam hal transparansi, akuntabilitas, perencanaan yang berbasis data, serta pelibatan masyarakat dalam proses penganggaran sangat diperlukan, agar penggunaan APBN/APBD dapat lebih tepat sasaran dan efisien,” pungkas Agus Chepy Kurniadi. (Red)