Jeritan Buruh PT MSJ Cimahi Selatan, Tenggelam di Tengah Lelang Aset yang Diduga Fiktif
Jayantara-News.com, Cimahi
Rencana lelang eksekusi terhadap aset PT Matahari Sentosa Jaya (MSJ) yang digelar oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk melalui KPKNL Bandung, Kanwil DJKN Jawa Barat, kini bukan hanya menuai kontroversi hukum, tetapi juga menguak potret buram ketidakadilan struktural yang menimpa ratusan mantan buruh. Aset-aset yang akan dilelang, mulai dari mesin tekstil hingga alat berat, faktanya sudah tidak lagi berada di lokasi sejak awal 2024, akibat aksi penjarahan massal yang diduga melibatkan oknum yang mengatasnamakan SPSI Kota Cimahi.
Baca berita-berita terkait:
PT MSJ Cimahi Selatan Ancam Gugat BRI & KPKNL: Barang Dijarah, Negara Tetap Lelang Rp117 Miliar
Aset Hilang, Lelang Jalan: KPKNL Bandung dan BRI Dihadang Tudingan Maladministrasi
Ironisnya, meski barang-barang tersebut telah hilang secara fisik dan bahkan dilaporkan ke Polda Jabar pada Desember 2024 (LP/B/554/XII/2024/SPKT/Polda Jabar), proses lelang tetap dipaksakan. Pada 18 September 2024, sejumlah truk fuso terlihat mengangkut barang-barang dari kawasan pabrik PT MSJ di Cimahi Selatan, seolah tak ada hukum yang berlaku. Namun, hingga berita ini diturunkan, laporan pidana dari pihak manajemen PT MSJ masih mandek di kepolisian.
Kepala KPKNL Bandung, Akhmad Abrori, berdalih bahwa lelang telah sesuai prosedur. Namun pernyataan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 yang mengatur bahwa:
– Barang yang dilelang harus diketahui keberadaannya secara jelas dan tidak dalam sengketa (Pasal 11),
– Penjual wajib menyerahkan barang kepada pejabat lelang (Pasal 12),
– Pejabat lelang wajib melakukan pemeriksaan fisik (Pasal 13).
Bila lelang tetap dilaksanakan atas aset yang telah dijarah dan dalam status sengketa, maka pelanggaran hukum serius bisa terjadi. Dugaan pelanggaran yang mengemuka antara lain:
– Pasal 378 jo Pasal 55 KUHP tentang penipuan dan persekongkolan,
– UU Tipikor atas penyalahgunaan wewenang,
– UU Perlindungan Konsumen atas dugaan penipuan terhadap peserta lelang.
“Ini bukan sekadar cacat administrasi, ini adalah skema legalisasi rampasan melalui tangan lembaga negara,” tegas perwakilan hukum PT MSJ, Kamis (15/5/25).
Seolah belum cukup, tragedi hukum ini kini menyeret dimensi baru: jeritan mantan buruh yang hak-haknya belum dipenuhi, meski telah diputuskan oleh pengadilan.
Melalui surat resmi tertanggal Mei 2025, sebanyak 130 orang eks karyawan PT MSJ melayangkan keluhan dan permohonan bantuan kepada Ketua Umum FSP TSK–SPSI, Roy Jinto Ferianto, SH. Mereka menyuarakan bahwa sejak Putusan PHI Bandung No. 120/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bdg diputuskan pada 14 Agustus 2019, sebanyak 1.510 mantan buruh belum menerima hak pesangon senilai total Rp79,7 miliar.
Mirisnya, muncul informasi bahwa aset perusahaan diduga telah dijual oleh oknum pengurus SPSI setempat: Ikin Kusmawan dkk, kepada pihak luar bernama Fitriyani, tanpa melalui proses lelang resmi. Bahkan, hanya sekitar 300 buruh saja yang menerima pembayaran sebesar Rp18 juta, jauh dari putusan yang sah.
Yang lebih mengejutkan, dalam surat resmi kepada Presiden, salah satu perwakilan serikat buruh, Pepet Saepul Karim, SH., mengklaim, bahwa aset-aset tidak dijual, melainkan hanya dipindahkan. Namun, bukti-bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya: aset telah hilang dari pabrik dan dijual ke luar.
Dengan rangkaian fakta ini, para eks buruh mendesak:
1. Audit internal dan verifikasi dari DPP FSP TSK–SPSI;
2. Pemanggilan terhadap oknum SPSI Cimahi yang diduga menyalahgunakan kuasa;
3. Eksekusi nyata terhadap putusan PHI yang telah inkrah;
4. Dukungan penuh agar hak para buruh segera dipenuhi, tanpa intervensi pihak-pihak bermotif pribadi.
Kini, publik menanti: apakah negara akan hadir sebagai penegak keadilan atau justru menjadi fasilitator dari sistem lelang fiktif yang melanggengkan penindasan?
Jika proses ini tetap dibiarkan, maka sejarah akan mencatat: negara bukan hanya gagal melindungi, tetapi turut mensahkan perampasan hak rakyat lewat mekanisme formal. (Tim Media)