“Mentang-Mentang Oligarki”: Dodo Lantang Luncurkan Buku Perlawanan Puitis Terhadap Ketimpangan Sosial
Jayantara-News.com, Depok
Suasana hangat dan reflektif menyelimuti peluncuran buku Mentang-Mentang Oligarki, karya terbaru dari Dodo Lantang, yang digelar di Café JPW, Jalan Boulevard, Sabtu (24/5/2025).
Acara tersebut dibuka secara resmi oleh Wakil Wali Kota Depok, Chandra Ramansyah, yang turut memberikan apresiasi kepada sang penulis. “Saya mengucapkan selamat kepada Dodo Lantang atas terbitnya buku ini. Meski bukan kritik, buku ini adalah ilmu yang perlu dipelajari. Bahkan saya pun kadang merasa seperti bagian dari oligarki itu sendiri,” ungkap Chandra disambut senyum para hadirin.
Dalam sambutannya, Chandra juga menyoroti ketimpangan sosial yang kian nyata, termasuk di sektor pendidikan, dan menegaskan bahwa perjuangan mewujudkan keadilan sosial adalah tugas bersama. “Oligarki kini telah masuk ke dunia pendidikan. Ini jelas bertentangan dengan nilai Pancasila, khususnya sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Dodo Lantang mengungkapkan bahwa ide awal penulisan buku ini lahir dari keresahan personal yang dipicu oleh obrolan dengan rekan-rekannya, serta kebiasaannya mendeklamasikan puisi-puisi kritik sosial.
“Karya ini lahir dari kegelisahan saya terhadap ketimpangan yang terus terjadi dan perilaku oligarki yang semakin kasat mata di berbagai lapisan masyarakat,” ujarnya.
Buku Mentang-Mentang Oligarki merupakan kumpulan puisi yang ditulis melalui proses panjang. Dodo menuturkan bahwa penggarapannya diperkaya oleh dialog intens bersama akademisi, jurnalis, dan sesama seniman. “Ini adalah bentuk perlawanan kecil saya. Saat tak mampu berteriak, saya memilih menulis. Puisi-puisi ini adalah fragmen dari realitas,” kata Dodo penuh makna.
Ia bahkan menyinggung absurditas zaman: “Bagaimana mungkin laut dan sungai bisa disertifikasi? Jangan-jangan kelak harga diri pun bisa.”
Yang menarik, buku Mentang-Mentang Oligarki tidak dijual secara komersial. Dodo memilih untuk membagikannya secara gratis kepada siapa pun yang membutuhkan, sebagai bentuk nyata dari komitmennya terhadap literasi yang merakyat.
“Literasi bukan soal uang. Kalau ada yang ingin membaca, saya akan bagikan. Semoga ini bisa memantik lahirnya lebih banyak penulis-penulis muda yang berani bersuara,” tandasnya.
Dalam kesehariannya sebagai akademisi, Dodo juga mengajak mahasiswa bimbingannya untuk menulis dan menerbitkan karya sastra sebagai bagian dari kurikulum. “Puisi bukan hanya tentang cinta. Ia juga bisa bicara soal politik, hukum, bahkan kemanusiaan,” jelasnya.
Ia menutup sesi dengan mengutip pesan dari gurunya, Putu Wijaya: “Menulislah saat tidak ingin menulis. Inspirasi tak perlu ditunggu, tapi diciptakan.”
Sesi diskusi buku dipandu oleh Kezia sebagai moderator, dengan menghadirkan narasumber ternama:
Prof. Dr. Wahyu Wibowo, M.Si
Prof. Firdaus Syam, MA, Ph.D
Dr. Somadi Sosrohadi, M.Pd (Dekan FBS Universitas Nasional)
Fikar W. Eda (Penyair dan Wartawan Senior)
Gaya bahasa dalam buku ini dianggap kuat, konsisten, dan penuh “diksi-diksi oligarki” yang membuat audiens antusias mengikuti jalannya acara.
Turut hadir dalam peluncuran buku ini:
Prof. Firdaus Syam, Rektor Universitas Nasional Jakarta
Dr. L. Amri Bermawi Putera, M.A. (Plt. Dekan FISIP UNJ)
Dr. Aos Y. Firdaus, S.IP, M.Si
Marsekal TNI (Purn) Cheppy Hakim
Harry Darmawan, S.Hum., M.Si
Iwan Setiawan (Sekretaris DPC PKB)
Bambang Prihadi (Ketua Dewan Kesenian Jakarta)
Devi P. Wiharjo (Pemred Existensil.com/AJI)
Benny Gerungan (PWOIN Kota Depok), serta tamu undangan lainnya.
Acara juga dimeriahkan oleh penampilan Sanggar Seni Dewi Matahari yang menambah semarak suasana peluncuran. (Yuni)