Di PN Tipikor Bandung, Kepedulian Disulap Jadi Kejahatan: Pejuang Kesehatan Diseret, Keadilan Diperkosa!
Jayantara-News.com, Bandung
Drama peradilan terhadap eks Kepala Puskesmas Plered, R. Erna Siti Nurjanah, kembali menguak ironi wajah hukum di negeri ini. Dari tuntutan pidana penjara 4 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dugaan pelanggaran Pasal 2 UU Tipikor, Majelis Hakim justru memutuskan bersalah berdasarkan Pasal 3 dengan hukuman 2 tahun penjara. Namun, yang mengejutkan publik, salah satu hakim anggota menyatakan dissenting opinion, menolak putusan mayoritas.
Dalam dissenting opinion-nya, hakim anggota 1 menyatakan bahwa tindakan rereongan atau gotong royong secara sukarela di tengah situasi darurat pandemi COVID-19 tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ia menegaskan tidak ada kerugian negara, dan situasi kala itu mendesak demi menjamin pelayanan kesehatan tetap berjalan.
Kuasa hukum Erna, Dr. Elya Kusuma Dewi, S.H., M.H., CLA., menyambut perbedaan pendapat tersebut dengan penuh dukungan. “Apa yang dilakukan Bu Erna adalah bentuk tanggung jawab moral seorang pemimpin. Beliau sudah mengajukan rencana kebutuhan, tetapi belum di-ACC. Dalam kondisi darurat, beliau memilih bertindak cepat demi menyelamatkan nyawa,” tegasnya.
Rereongan yang kini dijadikan alat dakwaan, menurut Elya, dilakukan atas kesepakatan bersama para pegawai dan telah dikembalikan, bahkan dengan kelebihan Rp50 juta yang sudah disetorkan ke kas negara. “Lalu, di mana letak kerugian negara? Mana audit BPK yang menyatakan kerugian?” tandasnya.
Sebelumnya, dalam sidang 24 Maret 2025, dua saksi ahli dari pihak JPU justru memperlihatkan keganjilan logika dakwaan. Ahli keuangan negara menyebut rereongan sebagai penyalahgunaan wewenang, namun pendapat itu dibantah keras oleh Elya, yang menyatakan bahwa sumbangan sukarela bukanlah pemotongan gaji apalagi korupsi.
Ironisnya, praktik rereongan juga terjadi di banyak instansi lain, termasuk di Pengadilan Negeri Bandung untuk kepentingan internal seperti MA Cup. Namun, hanya Erna yang dikriminalisasi. “Kalau rereongan dianggap korupsi, semua lembaga harus diperiksa! Jangan tebang pilih!” seru Elya lantang.
Kasus ini bahkan dinilai penuh rekayasa oleh pengamat kebijakan publik, Agus Chepy Kurniadi. Menurutnya, laporan awal dari LSM bukan soal rereongan, tapi ketidakhadiran seorang dokter. Anehnya, dokter pembolos tak diselidiki, justru Erna yang dijadikan tumbal.
“Ini bukan penegakan hukum. Ini pembunuhan karakter!” tegas Agus. Ia mendesak agar dalang kriminalisasi ini segera diungkap. “Kalau pemerintah pernah menganjurkan rereongan untuk kegiatan sosial, lalu mengapa kini rereongan dikriminalisasi?”
Pihak Penasehat Hukum menyatakan tidak menerima putusan hakim dan sedang mempertimbangkan upaya hukum lanjutan. “Sangat kejam negara ini, jika orang yang berjuang di garda depan pelayanan kesehatan saat krisis justru dihukum atas nama hukum yang telah kehilangan keadilan,” tutup Elya.
Publik kini bertanya: apakah keadilan akan tetap tunduk pada skenario atau bangkit menyuarakan nurani? (Darwin)
Editor: Agus Chepy Kurniadi