Sidang Tipikor Tol Cisumdawu, Jaksa Tak Bisa Buktikan Ada Kerugian Negara 329 Miliar: BTN Terancam Sanksi Pidana
Jayantara-News.com, Bandung
Sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan lahan untuk Tol Cisumdawu kembali digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu, (23/10/2024). Kasus korupsi yang menetapkan 5 (lima) tersangka hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Sumedang tersebut menimbulkan kerugian negara dengan nilai cukup besar.
Uang ganti Rugi (UGR) pembebasan lahan Tol Cisumdawu sebesar 329,7 miliar itu, didakwakan oleh JPU sebagai hasil tindak pidana korupsi sistemik dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan Atang Rahmat (anggota Tim P2T/ BPN), Agus Priyono (pegawai BPN Ketua Satgas B Tim P2T), Mono Igfirly (pejabat KJPP), Mushofah Uyun (Kades Cilayung), dan seorang Direktur PT Priwista Raya, Dadan Setiadi Megantara sebagai pemilik lahan terdampak Tol Cisumdawu.
Fakta persidangan mengungkap, bahwa barang bukti korupsi senilai 329,7 miliar yang diklaim Jaksa sebagai kerugian negara, masih berada di Bank BTN. JPU Arlin Aditya dalam keterangan kepada awak media membenarkan, bahwa UGR masih berada di Bank BTN. “Uangnya (masih ada). Disimpan di Bank BTN melalui konsinyasi di PN Sumedang,” tegas Arlin.
Fakta selanjutnya terungkap, bahwa UGR tersebut milik sejumlah warga ahli waris yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sumedang melalui penetapan pencairan konsinyasi. Bukan milik tersangka Dadan Setiadi Megantara.
UGR di Bank BTN milik pihak lain yang diklaim JPU sebagai barang bukti tindak pidana korupsi, tidak terdapat izin penyitaan dari Pengadilan, belum dicairkan kepada pemilik yang sah, karena ada surat permohonan pemblokiran dari Kejari Sumedang. Berbagai kejanggalan atas dakwaan JPU menjadikan sidang Tipikor tersebut beraroma intrik kepentingan.
Temuan dugaan korupsi pihak Kejaksaan dipaksakan naik ke persidangan Tipikor, meskipun kerugian negara sebagai syarat utama persidangan tidak terpenuhi, lantas Jaksa berdalih telah terjadi perbuatan melawan hukum berupa rekayasa dalam proses UGR yang dilakukan oleh kelima terdakwa.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung seharusnya bisa segera mengakhiri kontroversi. Karena faktanya, status barang bukti kerugian negara salah obyek, tidak juga mendapat izin sita dari Pengadilan.
Bank BTN sebagai pihak penyimpan konsinyasi UGR atas nama PN Sumedang, terkena dampak kasus tersebut. Perintah pencairan konsinyasi dari PN Sumedang dan adanya surat permohonan pemblokiran UGR dari Kejari Sumedang menjadi dilema pimpinan cabang Bank BTN.
Desakan pencairan dari ahli waris yang berhak menerima UGR tidak dihiraukan oleh Bank BTN yang lebih memilih menghormati surat permohonan pemblokiran Jaksa yang tak sesuai hukum. Karena pemblokiran sejatinya tidak pernah ada, bahkan permohonanan penyitaan ditolak balik oleh PN Sumedang maupun PN Tipikor Bandung, karena tidak sesuai aturan KUHAP dan salah obyek, bukan milik Dadan SM.
Keputusan Bank BTN tersebut diduga kuat masuk dalam pusaran syarat kepentingan Kejaksaan. Terindikasi juga sebagai tindakan menghalangi peroses pencairan UGR yang telah berkekuatan hukum Tetap. Padahal uang konsinyasi tersebut berasal dari ganti rugi tanah tol, yang dilindungi oleh UU No. 2 Tahun 2012, pasal 56, yang menegaskan : “Setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum”.
BTN lebih memilih mengikuti surat permohonan Jaksa yang keliru, daripada menghormati UU dan Putusan Berkekuatan Tetap. Bank BTN lupa, bahwa berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012; mengambil tanah warga masyarakat secara sewenang-wenang tanpa membayar ganti rugi adalah melanggar HAM pasal 28 H (4) UUD 1945.
Menyimpan uang konsinyasi yang sudah tidak memiliki dasar payung hukum merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Dan Bank BTN dapat dikenakan sanksi pidana karena menahan penyerahan pembayaran UGR kepada yang berhak, hanya dengan mengacu surat Jaksa yang diakui sendiri oleh Jaksa bukan merupakan upaya paksa, hanya sekedar bentuk pemberitahuan.
Bank BTN sudah kebablasan, melecehkan Lembaga Pengadilan, dan melawan UU No. 2 Tahun 2012, saatnya Pengadilan Negeri Sumedang menyelamatkan marwah Yudikatif. Pengadilan Tinggi Bandung sebagai kawal depan MA juga tak boleh bersikap apatis. (Red)