Membedah Absurditas Sidang Mediasi di PN Sorong: Parodi Peradilan yang Menyulut Amarah Publik
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Bayangkan ini: seorang asing datang ke pengadilan, mengaku punya sebidang tanah, lalu tanpa bukti kuat mengusulkan solusi absurd, membagi dua lahan yang ia klaim sebagai miliknya. Lebih tragisnya lagi, hakim menyambut usulan itu seperti paduan suara yang sudah berlatih lama, kompak, bulat, dan nyaris memaksa pihak yang jelas-jelas lebih dulu memiliki lahan untuk ikut “berbagi” dalam ketidakwarasan.
Beginilah kisah satir yang nyata terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Papua Barat Daya, ketika seorang Warga Negara Malaysia bernama Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Chi menggugat Samuel Hamonangan Sitorus terkait tanah di Kecamatan Supraw, Kota Sorong. Dalam sidang mediasi, kuasa hukum Mr. Chi, Albert Fransstio, S.H., mengajukan “proposal perdamaian” yang intinya: bagi dua saja lahannya, tanpa perlu pembuktian siapa pemilik sahnya.
Ironis, karena pihak tergugat, yang telah membeli lahan tersebut sejak 2009 dan mengelolanya secara aktif, didorong untuk menyetujui pembagian 50:50 dengan pihak penggugat yang baru muncul pada 2013. Penolakan pun dilakukan pihak tergugat yang masih waras, dengan permintaan sederhana namun mendasar: buka dokumen masing-masing, bandingkan di hadapan hakim, dan bicarakan fakta.
Namun permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh sang hakim, dengan alasan dokumen baru bisa dibuka dalam sidang resmi, itu pun hanya jika diperlihatkan kepada hakim terlebih dahulu. Sebuah logika hukum yang sulit dinalar, jika tidak ingin disebut menyesatkan.
Modus “mediasi membagi tanpa bukti” ini tak ubahnya parodi murahan dari kisah legendaris Nabi Sulaiman. Bedanya, dalam kisah suci itu, kebenaran ditegakkan lewat kebijaksanaan. Di PN Sorong, justru yang tampil adalah kebalikannya, absurditas yang dirayakan dalam jubah hukum.
Tak berlebihan jika publik bertanya: apakah pengadilan kini telah menjadi alat legalisasi perampasan hak? Apakah keadilan kini diperjualbelikan dengan proposal “damai semu” yang memaksa korban untuk menyerahkan sebagian haknya demi kenyamanan prosedural?
Keadilan tak butuh kompromi tanpa kebenaran. Ia hanya butuh hakim-hakim yang jujur, berani, dan tidak tunduk pada logika transaksional.
Sayangnya, di negeri ini, kehadiran sosok seperti Raja Soleman tampaknya hanya tinggal dalam kitab suci dan ingatan para pemimpi. Sebab bila uang sudah menjadi tuhan dalam ruang sidang, maka keadilan akan selalu kalah oleh absurdnya kekuasaan yang bercadar hukum.
Penulis adalah lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University (UK), Applied Ethics dari Utrecht University (Belanda), dan Linkoping University (Swedia).