Mediasi Sesat Akal di PN Sorong ala ‘Bayar Kucing dalam Karung’: Hakim Tersenyum, Logika Hukum Menangis
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Sorong
Pada masa Orde Baru, istilah “beli kucing dalam karung” menjadi ungkapan populer, terutama di dunia politik. Istilah ini merujuk pada sistem pemilihan anggota DPR RI yang hanya memungkinkan rakyat mencoblos lambang partai, tanpa mengetahui secara pasti siapa sosok yang mereka pilih. Tidak ada nama, apalagi foto calon legislatif. Hasilnya, rakyat terpaksa menerima wakil-wakil yang asing dan kerap tidak mereka kehendaki.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena rakyat hanya diberi pilihan terbatas: dua partai politik (PPP dan PDI) serta satu ormas berkuasa, Golkar. Rakyat diposisikan sebagai massa bodoh yang tidak layak menentukan siapa yang pantas duduk di parlemen. Semua calon legislatif adalah “titipan elite” di dalam karung gelap demokrasi semu.
Analogi tersebut kini hidup kembali, namun dalam bentuk yang lebih keji, di ranah peradilan negeri. Tepatnya di ruang sidang mediasi Pengadilan Negeri (PN) Sorong, yang kini menjadi panggung permainan kotor dalam kasus sengketa lahan.
Baca juga:
Dalam sidang mediasi tersebut, pihak penggugat, yakni PT. Bagus Jaya Abadi (BJA), diwakili kuasa hukumnya yang tampil gagah membawa proposal perdamaian berupa pembagian lahan obyek sengketa secara “bagi dua”, plus kompensasi sebesar Rp2,5 miliar. Anehnya, semua tawaran itu disodorkan tanpa menunjukkan satu lembar pun dokumen legalitas atas kepemilikan lahan yang diklaim.
Pertanyaannya: lahan mana yang mau dibagi dua? Atas dasar hukum apa penggugat meminta tergugat membayar Rp2,5 miliar?
Ketika tergugat, Hamonangan Sitorus, meminta kejelasan soal letak dan dasar hukum kepemilikan lahan tersebut, kuasa hukum penggugat, Albert Frasstio, menolak memberikan penjelasan. Alasannya? Itu “materi pokok perkara” yang katanya hanya bisa dibuka di persidangan pokok, bukan saat mediasi.
Yang lebih janggal, hakim mediator, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., justru terlihat sejalan dengan sikap penggugat. Alih-alih mengupayakan pertemuan argumentatif yang adil, hakim ini malah mendorong percepatan masuk ke pokok perkara, seolah ingin segera “menggagalkan” mediasi.
Padahal, tergugat Hamonangan Sitorus hanya ingin mendapat kejelasan: di mana letak lahan yang dimaksud? Pasalnya, dari isi proposal yang diajukan penggugat, lokasi yang diklaim ternyata berada di wilayah laut! Tidak mungkin ada dasar kepemilikan atas kawasan perairan.
Maka wajarlah jika tergugat meminta agar persoalan lokasi dan legalitas dibuka terang-benderang sebelum bicara soal bagi-bagi lahan dan angka kompensasi. Sebab, bagaimana mungkin seseorang mau membayar kucing dalam karung, tanpa tahu itu kucing atau anjing, mati atau hidup?
Seharusnya, hakim mediator adalah pihak netral dan bijaksana yang mampu mendorong dialog terbuka antara para pihak. Hakim harus memastikan bahwa proses mediasi dilakukan secara adil, transparan, dan proporsional. Pihak yang menggugat wajib membuka semua dasar klaimnya, agar pihak tergugat dapat menimbang tawaran secara rasional.
Jika semua pihak tidak memahami apa yang sedang mereka perdebatkan, apa isi “karung” dalam mediasi, maka proses mediasi menjadi sandiwara hukum yang menyesatkan. Hanya membuang waktu, menciptakan ilusi perdamaian yang semu, dan merendahkan integritas lembaga peradilan.
Keberhasilan mediasi yang baik dan beradab sangat bergantung pada kualitas dan integritas hakim mediator. Jika mediasi gagal karena keberpihakan, pembiaran, atau ketidakmampuan mediator menjalankan perannya secara profesional, maka catatan hitam itu akan melekat dalam kinerja yudisial sang hakim.
Jika praktik hukum di ruang mediasi sudah sebegitu dangkal dan manipulatif, lalu ke mana lagi rakyat harus mencari keadilan? (Tim/Red)
Penulis adalah lulusan pascasarjana bidang Etika Global dan Etika Terapan dari tiga universitas ternama di Eropa.