Tata Kelola Keuangan Pangandaran Kritis: Audit Forensik Bukan Pilihan, Tapi Wajib!
Oleh: Tedi Yusnanda
(Direktur Eksekutif Sarasa Institute)
Jayantara-News.com, Pangandaran
Jayantara News melalui Sarasa Institute menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi keuangan Kabupaten Pangandaran, yang kembali menjadi sorotan publik, menyusul beredarnya video Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), dalam sebuah forum resmi. Dalam video tersebut, Pangandaran disebut sebagai “kabupaten setengah sekarat”, merujuk pada defisit anggaran, macetnya pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama lima bulan, serta pengajuan pinjaman daerah ke Bank BJB.
Pernyataan ini merupakan respons atas video viral Gubernur KDM, yang dinilai telah menyuarakan keresahan masyarakat Pangandaran yang selama ini terbungkam. Sarasa Institute menyampaikan apresiasi dan rasa hormat atas keberanian politik yang ditunjukkan Gubernur KDM dalam menyampaikan kegelisahan publik.
Sarasa Institute menilai, krisis keuangan yang terjadi bukan semata permasalahan teknis manajemen kas, melainkan telah mencapai titik darurat yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola anggaran dan kebijakan fiskal daerah. Oleh karena itu, institusi ini mendesak dilakukannya audit forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta meminta keterlibatan aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan menyeluruh.
Pengajuan kembali pinjaman oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran kepada Bank BJB dinilai sebagai pengulangan pola lama yang sebelumnya telah ditolak tegas oleh masyarakat sipil dan tiga kementerian negara: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PPN/Bappenas. Pola pengelolaan seperti ini menunjukkan kegagalan dalam membangun tata kelola keuangan yang berkelanjutan, transparan, dan akuntabel. Pendekatan tambal-sulam melalui utang jangka panjang justru memperparah beban fiskal dan mengorbankan masa depan generasi berikutnya.
Selain itu, terdapat isu mendesak yang luput dari kritik Gubernur KDM, yakni belum dibayarkannya Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penghasilan Tetap (Siltap) perangkat desa oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No. 20 Tahun 2018, dan PP No. 43 Tahun 2014, yang secara eksplisit menyatakan bahwa DBH dan Siltap adalah hak yang tidak boleh ditunda maupun dialihkan.
Sarasa Institute menilai bahwa pelanggaran terhadap hak-hak desa ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan mengindikasikan adanya praktik koruptif. Untuk itu, lembaga ini mendorong BPK melakukan audit dengan tujuan tertentu, khususnya audit investigatif dan audit kinerja berbasis risiko, sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006.
Pemberian opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) oleh BPK terhadap laporan keuangan Pemkab Pangandaran dalam kondisi seperti ini menimbulkan tanda tanya besar. Ketika kewajiban dasar seperti TPP, Siltap, dan DBH tidak terpenuhi, maka opini WDP patut dipertanyakan, bahkan layak untuk dikaji ulang menuju opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer).
Sarasa Institute juga mendesak KPK untuk turun langsung ke Pangandaran. Lembaga antikorupsi tersebut tidak boleh bersikap pasif dan hanya bergantung pada audit reguler yang tidak mampu menjangkau potensi kecurangan secara komprehensif. Pangandaran berpotensi menjadi studi kasus kegagalan negara dalam mengawasi otonomi daerah, apabila krisis ini terus dibiarkan.
Audit forensik diperlukan untuk mengungkap anomali transaksi, pelanggaran prosedur, serta potensi penyelewengan dalam pengelolaan APBD, termasuk praktik penyimpangan berulang dalam penyaluran DBH dan Siltap. Ketimpangan dalam sistem pengawasan publik, di mana pelanggaran terhadap hak-hak desa terus diabaikan dalam laporan resmi, merupakan bentuk nyata dari ketidakadilan struktural dalam tata kelola keuangan negara.
Sarasa Institute menyerukan transparansi penuh, penegakan hukum yang tegas, serta keberanian politik dari seluruh pemangku kepentingan untuk menyelamatkan Pangandaran dari ambang kebangkrutan.
Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik Sarasa Institute dalam menjaga integritas tata kelola pemerintahan daerah serta melindungi hak-hak masyarakat sipil, khususnya di tengah tekanan fiskal yang kian mengkhawatirkan. (Red)