Kapolsek Indrapura Terancam Diproses Propam: Dua Kasus Mangkrak, Hukum Seolah Lumpuh!
Jayantara-News.com, Indrapura
Di tengah gaung reformasi Polri dan janji pelayanan prima, justru muncul ironi pahit di wilayah hukum Polsek Indrapura. Dua laporan pidana yang dilayangkan hampir setahun silam oleh keluarga Eko Razmian Sihombing dan Ridwan Sihombing hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti. Penegakan hukum di tingkat bawah kembali dipertanyakan: tumpul, lamban, dan terkesan diabaikan.
Laporan pertama, terkait dugaan penganiayaan berat terhadap Eko Razmian Sihombing, telah teregister sejak 25 November 2024. Identitas terlapor, James Daud Sihombing, sudah diketahui, namun hingga kini belum juga ditangkap. Laporan kedua menyangkut kasus pencurian yang dilaporkan pada 3 Mei 2025 oleh Ridwan Sihombing, dengan terlapor Syasianna Sihombing dan Kerry Silaen. Ironisnya, kedua laporan itu kini sama-sama menggantung, tanpa kepastian hukum.
> “Delapan bulan kami menunggu. Polisi hanya bilang ‘sabar’. Sampai kapan? Kalau begini, kami akan laporkan Kapolsek ke Propam,” tegas Ridwan saat diwawancarai.
Bukan sekadar soal keterlambatan, publik mencium aroma pembiaran. Dalam kedua kasus tersebut, langkah mendasar seperti penerbitan Daftar Pencarian Orang (DPO) bahkan belum dilakukan. Padahal, KUHAP dan aturan internal Polri jelas mengatur kewajiban penyidik untuk menindaklanjuti setiap laporan secara profesional, terlebih jika unsur pidananya terpenuhi.
Saat dimintai konfirmasi, Kanit Reskrim Polsek Indrapura, IPDA Evan Hutabarat, hanya memberi jawaban singkat:
> “Kami keterbatasan personel.”
Pernyataan tersebut justru memantik kemarahan. Bagi publik, itu bukan sekadar alasan, melainkan bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab institusional. Sumber daya bisa terbatas, tetapi keadilan tidak boleh ditunda. Polisi bertugas menegakkan hukum, bukan mencari dalih.
Kritik tajam pun berdatangan, bukan hanya dari keluarga korban, tetapi juga dari aktivis dan tokoh masyarakat. LSM LP3NKRI SUMUT menilai ada indikasi pelanggaran etik dan penyimpangan prosedur dalam penanganan perkara di Polsek Indrapura.
> “Kepolisian harus bersih dari praktik pembiaran. Kalau laporan masyarakat saja diabaikan, lantas siapa yang bisa mereka percaya?” ujar Ketua LP3NKRI SUMUT dalam pernyataan tertulis.
Aturan internal Polri sebenarnya sangat tegas. Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri mengharuskan setiap anggota menjunjung tinggi profesionalisme dan keadilan. Sementara Perkap No. 2 Tahun 2022 menegaskan pentingnya pengawasan melekat oleh atasan dalam proses penanganan perkara. Jika pimpinan lalai, maka tanggung jawab etik dan hukum bersifat berjenjang.
Jika terbukti adanya kelalaian sistemik, maka pelanggaran ini berpotensi berujung pada sanksi internal dan pidana: mulai dari teguran tertulis, penempatan di tempat khusus (Patsus), hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Lebih dari itu, Pasal 421 KUHP mengancam pidana terhadap pejabat yang dengan sengaja menyalahgunakan wewenang dan merugikan pencari keadilan.
Kini, sorotan publik mengarah kepada Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto. Pertanyaan publik mengemuka: Akankah ia berani mengambil tindakan tegas terhadap Kapolsek Indrapura, AKP Reynold Silalahi? Atau justru membiarkan citra institusi Polri terus merosot?
Ini bukan sekadar perkara mandek. Ini adalah preseden buruk. Ketika polisi menunda keadilan, mereka bukan hanya lalai, mereka turut menyumbang terhadap krisis kepercayaan publik terhadap hukum.
> “Seragam tak akan menyelamatkan kehormatan jika integritasnya compang-camping,” ujar seorang tokoh masyarakat di Batu Bara, menyuarakan keresahan warga.
Jika keadilan tidak bisa ditegakkan oleh mereka yang disumpah untuk menjaganya, maka institusi hukum telah kehilangan marwahnya. Polri saat ini tidak hanya sedang diuji oleh tindak kriminal, melainkan oleh integritas internalnya sendiri, oleh keberaniannya menindak aparat yang lalai, dan komitmennya menjaga kepercayaan publik yang semakin menipis.
Waktunya Propam bertindak. Waktunya institusi membuktikan bahwa tidak ada yang kebal hukum, termasuk mereka yang mengenakan seragam. (Tim JN)