Jawaban Kritis Dewan Pangandaran: Kritik Sarasa Institute Dinilai Asbun dan Tidak Mendidik!
Jayantara-News.com, Pangandaran
Oleh: Rohimat Resdiana (Anggota DPRD dari Fraksi PDI-P)
Pernahkah Anda membaca tulisan yang kelihatannya cerdas tapi sesungguhnya hanya parade amarah dan sentimen tanpa solusi? Begitulah tulisan berjudul “DPRD: Makhluk Apa Ini?” oleh Tedi Yusnanda dari Sarasa Institute, sebuah opini emosional yang mencoba menyulut kebencian publik, namun gagal menyembunyikan bias dan kepentingan di balik kata-katanya.
Dengan gaya yang seolah menjiplak esai-esai, Sarasa Institute berusaha tampil sebagai penyambung lidah rakyat Pangandaran. Tapi apakah dia benar-benar berbicara untuk rakyat? Atau hanya menulis demi memanen aplaus sesama aktivis dan mendongkrak eksistensi Sarasa Institute yang?, jujur saja, lebih sering muncul sebagai komentator pasca-kejadian daripada mitra kerja nyata pembangunan daerah.
Kritik Tanpa Landasan, Menghakimi Tanpa Data!
Tulisan Sarasa Institute dimulai dengan sebuah penggambaran dramatis: gaji tertunda, desa menggenggam belas kasihan, dan DPRD “duduk dalam ruang sejuk”. Potret ini dibuat seolah semua kesalahan hanya milik DPRD. Padahal, siapapun yang memahami tata kelola pemerintahan tahu, urusan fiskal daerah tidak bisa dibebankan sepihak kepada legislatif.
Lebih jauh, Ia menyeret nama-nama besar seperti Rousseau, Zizek, dan mitologi Yunani, seakan hanya untuk memberi kesan intelektual pada tulisan yang sejatinya lebih cocok disebut pamflet demonstrasi. Ini bukan narasi kritis, ini agitasi. Ironisnya, ia menuduh DPRD lupa pada fungsi pengawasan, padahal Sarasa Institute sendiri tak pernah terdengar hadir dalam forum-forum publik resmi untuk memberi masukan substansial.
Mengabaikan Realitas Politik: Populis Tapi Dangkal!
Sarasa Institute berbicara seolah-olah semua anggota DPRD Pangandaran korup, tuli, dan tak tahu malu. Namun ia tidak menyebut satu pun nama, fraksi, atau bukti konkrit. Ia membuat generalisasi brutal, yang dalam logika jurnalistik disebut sebagai logical fallacy of composition, menganggap sebagian mewakili keseluruhan.
Ia juga menggiring rakyat untuk percaya bahwa DPRD hanya sibuk “balik modal”, tanpa pernah menunjukkan satu pun kasus resmi atau laporan investigatif di Pangandaran yang mendukung tuduhannya. Padahal, jika benar ada jual beli kursi, kenapa Sarasa tidak melaporkannya ke KPK atau Bawaslu? Atau jangan-jangan, narasi ini dibangun hanya untuk menciptakan musuh imajiner agar diri sendiri tampak seperti pahlawan?
Kesucian Aktivisme yang Palsu
Dengan menyebut tokoh Puntadewa, Sarasa seolah-olah ingin mencitrakan dirinya sebagai suara moral yang jernih. Tapi kebenaran itu diuji bukan lewat metafora, melainkan lewat kerja nyata: audiensi, riset kebijakan, dan advokasi formal. Selama ini, apa kontribusi Sarasa Institute dalam menyelesaikan problem fiskal daerah? Di mana proposal anggaran alternatif? Di mana seminar publik yang mereka selenggarakan untuk membuka diskusi? Kalau pun mereka ada dan hadir, apakah hanya untuk membaca puisi kritik, lalu pulang menulis opini penuh kutukan?
Kritik Harus Jernih, Bukan Asal Bunyi (Asbun)!
Kritik yang sehat dibangun di atas data, disampaikan lewat jalur resmi, dan didorong oleh semangat solutif. Sarasa Institute tampaknya lebih senang bermain di medan wacana yang emosional, menyebar kecurigaan dan kebencian daripada membangun demokrasi deliberatif.
Tulisan “DPRD: Makhluk Apa Ini?” bukanlah refleksi rakyat Pangandaran, melainkan suara bising dari pinggir laut yang tak tahu bagaimana rumitnya mengelola konflik fiskal di lapangan. Ia menuduh tanpa bukti, menuntut tanpa empati, dan bersuara seolah paling tahu segalanya, padahal hanya melihat dari kejauhan.
Jika benar peduli pada Pangandaran, berhentilah menghakimi dari balik laptop. Turunlah ke forum publik, ajukan kajian nyata, dan hentikan memainkan peran sebagai dewa kebenaran dalam panggung pencitraan. (Nana JN)