Janggal! Dugaan Kasus Korupsi Puskesmas Cisitu Sumedang: Versi BPK Hanya Rp13 Juta, Versi Kejari Tembus Rp193 Juta!
Jayantara-News.com, Sumedang
Kasus dugaan korupsi pembangunan Puskesmas Cisitu, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, terus menuai sorotan. Meski Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumedang telah menyatakan berkas perkara lengkap (P21) dan siap disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung, kuasa hukum kedua tersangka justru mengendus aroma kejanggalan serius.
Dua tersangka, RM dan I, sebelumnya ditetapkan oleh Kejari Sumedang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Puskesmas tersebut pada Tahun Anggaran 2023. Kejari menyebut kerugian negara mencapai Rp193 juta, bahkan sempat menyebut nominal lebih tinggi, yakni Rp730 juta hingga Rp800 juta.
Namun, fakta berbeda disampaikan kuasa hukum para tersangka, Jandri Ginting. Ia menegaskan bahwa hasil audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru hanya menemukan kerugian negara sebesar Rp13 juta.
> “Ada kejanggalan yang mencolok. BPK menyatakan kerugian negara Rp13 juta, tapi kenapa Kejari bisa menyebut angka Rp193 juta bahkan hingga Rp800 juta? Angka-angka ini tidak sinkron dan patut dipertanyakan motifnya,” ujar Jandri, Minggu (22/6/2025).
Menurutnya, proyek pembangunan Puskesmas Cisitu telah melalui proses serah terima, baik PHO (Provisional Hand Over) maupun FHO (Final Hand Over), kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Artinya, seluruh pekerjaan telah selesai, diperiksa, dan dinyatakan layak tanpa catatan kritis yang memerlukan perbaikan substansial.
> “Kalau memang ada dugaan pengurangan volume pekerjaan, kenapa saat PHO dan FHO tidak ada satu pun pihak dari Inspektorat, PPK, pengawas proyek, atau Dinas Kesehatan yang memberikan teguran? Lalu, kenapa baru sekarang klien kami dijadikan tersangka korupsi?” imbuhnya.
Jaksa menyebut modus dugaan korupsi dilakukan dengan mengurangi volume pekerjaan dari spesifikasi kontrak. Namun kuasa hukum menilai tuduhan itu mengada-ada, sebab proyek sudah lolos evaluasi teknis hingga tahap serah terima akhir.
Jandri memastikan bahwa kejanggalan-kajanggalan ini akan menjadi materi utama pembelaan dalam persidangan. Ia juga menyebut ada potensi pelanggaran prosedur dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka, tanpa mempertimbangkan hasil audit resmi lembaga negara.
> “Kami tidak menolak proses hukum, tapi jangan sampai hukum dijadikan alat untuk mengorbankan pihak tertentu demi memenuhi target atau kepentingan terselubung,” tegasnya.
Kasus ini menjadi ujian integritas bagi aparat penegak hukum di daerah. Jika benar terjadi rekayasa angka kerugian negara, maka bukan hanya kredibilitas Kejari yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum secara keseluruhan. (Tim JN)