Kapolda Metro Jaya Diseret ke Praperadilan: Diduga Legalkan Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus
Jayantara-News.com, Jakarta
Praktik penegakan hukum di Polda Metro Jaya semakin dipertanyakan publik. Penanganan sejumlah laporan hukum dinilai penuh kejanggalan, ugal-ugalan, dan sarat intervensi, seolah institusi tersebut tak lagi menjalankan fungsi sebagai penegak hukum, melainkan menjadi bagian dari sindikasi mafia hukum.
Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah laporan dugaan penipuan oleh kelompok Fahd A. Rafiq terhadap rekan dekatnya, Faisal bin Hartono, di Polda Metro Jaya. Nama Fahd yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi pengadaan Alquran dan proyek infrastruktur di Aceh, kini kembali muncul ke permukaan. Ia diduga kuat ikut mengatur jalannya proses hukum di lingkungan Polda Metro Jaya.
> Baca juga: Mantan Narapidana Korupsi Alquran, Fahd A Rafiq, Terlibat Mafia Hukum, Nama Kapolda Metro Jaya, Karyoto, Mencuat: https://pewarta-indonesia.com/2025/04/mantan-narapidana-korupsi-alquran-fahd-a-rafiq-terlibat-mafia-hukum-nama-kapolda-metro-jaya-karyoto-mencuat/)
Setelah gagal memenjarakan Faisal melalui tuduhan penipuan dan penggelapan, Fahd diduga kembali menyusun strategi baru. Ia mendorong staf wanitanya, Rully Indah Sari, untuk melaporkan Faisal atas dugaan pelecehan seksual. Seperti biasa, laporan yang melibatkan nama besar langsung mendapat perhatian istimewa. Prosesnya berlangsung cepat, dan terkesan penuh rekayasa.
Dalam laporannya, Rully mengaku bahwa bagian tubuhnya sempat disenggol oleh Faisal pada 30 Oktober 2022. Anehnya, Fahd A. Rafiq justru tampil sebagai saksi dalam kasus itu. Ia menguatkan tuduhan Rully, yang kemudian menyebut bahwa dirinya mengalami trauma psikologis dan takut bertemu pria.
Namun, tuduhan tersebut langsung dibantah keras oleh Faisal. Ia menunjukkan bukti bahwa pada tanggal yang dimaksud, kantor PT. Visitama, tempat keduanya bekerja, tidak beroperasi karena hari libur. Faisal saat itu tengah menghadiri acara keluarga, dengan bukti berupa foto dan video yang didukung kesaksian keluarga. Sementara Fahd sendiri diketahui sedang berada di Pekanbaru, menghadiri pelantikan pengurus Bapera.
Menariknya, bukannya menghentikan perkara berdasarkan bantahan valid tersebut, penyidik justru mengubah keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Tanggal kejadian dihapus dan diganti menjadi “sekitar bulan Oktober”, sehingga membuka celah pembuktian yang longgar dan multitafsir.
Dalam kasus ini, pihak penyidik hanya mengandalkan tiga unsur bukti: keterangan saksi Rully dan Fahd, serta keterangan seorang ahli psikologi. Tak ada alat bukti pendukung lain. Validitas keterangan pun dipertanyakan:
1. Ingatan sebagai dasar tuduhan sangat rentan distorsi, terlebih pelaporan baru dilakukan setelah hampir 2,5 tahun dari waktu kejadian. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar atas keabsahan memori pelapor.
2. Klaim trauma psikologis juga diragukan. Rully, yang disebut-sebut mengalami trauma berat, faktanya tetap aktif berkegiatan sosial, bahkan mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD Jawa Barat dari Partai Golkar pada Pemilu 2024.
3. Indikasi tekanan terhadap saksi pelapor juga muncul. Dalam praktik mafia hukum, tekanan terhadap pelapor atau saksi sangat lazim terjadi, demi kepentingan pihak yang berkuasa. Tercatat, dalam kasus sebelumnya, oknum penyidik bahkan menerima uang Rp300 juta untuk memenjarakan Faisal.
Tak butuh waktu lama, status Faisal pun dinaikkan menjadi tersangka. Penetapan tersebut dilakukan meskipun tak ada satupun alat bukti materiil selain keterangan saksi yang meragukan.
Atas tindakan penyidik yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP dan sarat rekayasa, kuasa hukum Faisal, Irwansyah Putra, S.H., M.Kn., CFAS, telah resmi mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 31 Juli 2025.
> “Kami telah daftarkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap klien kami. Dalam berkas tersebut, Kapolda Metro Jaya tercantum sebagai pihak termohon,” ujar Irwansyah kepada media ini.
Irwansyah menilai, ada upaya sistematis dalam mengubah kronologi kejadian (tempus delicti), mulai dari penghapusan hingga penggantian tanggal peristiwa dalam surat panggilan dan BAP. Menurutnya, hal tersebut mencerminkan praktik kesewenang-wenangan dan pemutarbalikan fakta hukum.
Sementara itu, Ketua Organisasi Advokat PERSADI, Irjen Pol (Purn) Dr. Abdul Gofur, S.H., M.H., turut menyoroti kejanggalan kasus ini. Ia menegaskan bahwa dalam perkara pelecehan seksual, polisi tidak boleh hanya mengandalkan kesaksian, terlebih dari pihak yang tidak langsung melihat atau mengalami kejadian.
> “Keterangan ahli itu subjektif dan sangat tergantung perspektif. Harus ada bukti kuat seperti rekaman CCTV, hasil visum, atau barang bukti lain. Jika tidak, maka kasus ini rawan menjadi fitnah,” ujarnya.
Hingga berita ini ditayangkan, redaksi masih terus berupaya menghubungi pihak Polda Metro Jaya untuk meminta tanggapan dan konfirmasi atas dugaan pelanggaran hukum dalam penanganan perkara tersebut. (Tim/Red)