Skandal Hukum di Polres Jakpus: Ibu Menyusui Raib, PPWI & LBH Desak Kapolri Bertindak!
Jayantara-News.com, Jakarta
Kasus hilangnya Rina, seorang ibu menyusui asal Sumedang yang sebelumnya ditahan Polres Metro Jakarta Pusat dalam perkara yang dinilai murni perdata, memicu gelombang kemarahan publik. Dua tokoh nasional, Jurika Fratiwi (Direktur LBH Digitek DKI Jakarta) dan Wilson Lalengke (Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia/PPWI, alumni PPRA 48 Lemhannas RI Tahun 2012), mendesak Kapolri untuk segera mengungkap keberadaan Rina dan menindak aparat yang terlibat.
Jurika, yang juga menjabat sebagai Advokasi dan Konsultasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kadin Indonesia, mengungkap bahwa sebelum menghilang, Rina sempat mengadu dipaksa mencabut surat kuasa dan menandatangani pernyataan tidak menggunakan kuasa hukum.
> “Setelah pertemuan terakhir itu, seluruh komunikasi terputus. Nomor telepon Rina dan suaminya tidak aktif. Kondisi ini mengkhawatirkan dan mengarah pada dugaan penghilangan paksa,” ujar Jurika, Kamis (14/8/2025).
Jurika menegaskan, penahanan Rina sejak awal cacat prosedur, melanggar Pasal 54, 55, dan 56 KUHAP, serta menabrak prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014. Ia juga mengecam tindakan polisi yang membocorkan isi BAP ke media, yang melanggar UU KIP dan UU ITE.
Menurutnya, kasus wanprestasi sebesar Rp450 juta yang menjerat Rina adalah murni perdata sesuai Pasal 1234 KUH Perdata, bukan pidana.
“Alarm Bahaya” Penegakan Hukum
Senada, Wilson Lalengke menyebut hilangnya Rina sebagai alarm bahaya bagi penegakan hukum di Indonesia.
> “Ini bukan sekadar salah prosedur, tapi indikasi kuat penghilangan paksa. Kalau dibiarkan, rakyat kecil semakin tidak punya tempat berlindung,” tegasnya.
Wilson menyoroti lemahnya pengawasan internal Polri dan mempertanyakan keberanian Kapolres Metro Jakarta Pusat dalam mengendalikan anggotanya. Ia juga menyindir slogan Polri Presisi untuk Rakyat yang menurutnya “hanya pemanis bibir tanpa makna.”
Keduanya mendesak Kapolri, Propam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan Kementerian PPPA untuk:
1. Segera mengungkap keberadaan Rina dan memastikan keselamatannya.
2. Menghentikan proses pidana yang bertentangan dengan asas peradilan yang adil.
3. Menindak aparat yang memaksa pencabutan kuasa hukum.
4. Menegakkan hak anak dengan membebaskan atau menangguhkan penahanan ibu menyusui.
Kronologi Singkat Kasus Rina
1. Maret 2025 – Rina menerima dana Rp450 juta dari pelapor untuk membeli mobil Toyota Hilux. Uang digunakan untuk kebutuhan bisnis dan membayar utang, dengan janji pelunasan dari pemasukan usaha berikutnya.
2. April–Juni 2025 – Usaha tidak mencapai target. Rina mencicil pembayaran dan menawarkan rumah sebagai ganti rugi, namun ditolak pelapor.
3. 1 Agustus 2025 – Pelapor memanggil Rina ke Jakarta, lalu ia langsung ditangkap di Polres Metro Jakarta Pusat.
4. Pelanggaran Prosedur – Tidak ada pemberitahuan ke keluarga, tidak didampingi penasihat hukum, dan tidak ada penunjukan pengacara meski ancaman hukuman ≥5 tahun.
5. Penahanan Ibu Menyusui – Rina ditahan bersama bayinya yang berusia 9 bulan di ruang tahanan tidak layak.
6. 7 Agustus 2025 – Rina menghubungi kuasa hukumnya dan mengaku dipaksa mencabut surat kuasa.
7. 8 Agustus 2025 – Kontak terputus, nomor telepon Rina dan suaminya tidak aktif, lokasi penahanannya tidak jelas.
Fakta Pelanggaran Hukum
Kriminalisasi Perdata – Sengketa wanprestasi diproses sebagai pidana.
Pelanggaran Hak Tersangka – Tidak didampingi penasihat hukum sejak awal.
Pelanggaran Privasi – Pembukaan BAP ke media.
Pelanggaran Hak Anak – Penahanan bayi di tahanan.
Dugaan Penghilangan Paksa – Rina hilang setelah berada dalam tahanan.
Respons Petinggi Polri
Hasil tangkapan layar komunikasi WhatsApp yang beredar menunjukkan mantan Wakapolri Komjen (Purn) Drs. Oegroseno, SH menyebut perkara ini sebagai “murni kriminalisasi” dan meminta agar kasus ini diviralkan.
Kombes Pol Dedy Tabrani juga menyarankan agar kasus dilaporkan ke Propam dan Kompolnas. Pesan-pesan ini disampaikan aktivis anti-korupsi Idris Hady kepada Wilson Lalengke, sebagai sinyal bahwa dugaan kriminalisasi Ibu Rina mendapat perhatian dari kalangan internal kepolisian.
PPWI memastikan akan terus mengawal kasus ini hingga terang benderang, sekaligus menjadi peringatan bahwa pelanggaran hak asasi dapat terjadi kapan saja jika masyarakat memilih diam. (Red)