Ketua LBHK-Wartawan Jabar Menyorot: Kenapa Pemdes Tidak Berani Pajang Banner PAD dan Bantuan di Depan Kantor Desa?
Jayantara-News.com, Jawa Barat
Banyaknya pertanyaan yang masuk ke Meja Redaksi Media Online Jayantara-News.com, mengenai “Mengapa pemerintahan desa (Pemdes) tidak berani memajang banner tentang Pendapatan Asli Desa (PAD) dan bantuan dari pusat, provinsi, maupun daerah di depan kantor desa?”, langsung ditanggapi oleh Pemimpin Redaksi Jayantara-News.com, Agus Chepy Kurniadi.
Agus Chepy Kurniadi, yang juga Ketua LBHK-Wartawan wilayah Jawa Barat, menjelaskan beberapa alasan yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah desa dalam menampilkan informasi keuangan tersebut secara terbuka.
1. Terkait Transparansi dan Akuntabilitas:
“Sebagian Pemdes mungkin merasa belum siap menjalankan keterbukaan informasi sepenuhnya. Mereka khawatir, bahwa keterbukaan soal PAD dan bantuan akan memicu pertanyaan atau kritik dari masyarakat, khususnya jika ada hal yang belum jelas dalam pengelolaan dana,” katanya.
2. Kendala Teknis dan Administratif:
“Terkadang, administrasi desa belum terstandarisasi, dan informasi terkait PAD atau bantuan, sering belum tercatat dengan baik. Memasang banner dengan data keuangan memerlukan ketelitian ekstra, dan hal ini bisa menjadi tantangan bagi sebagian Pemdes,” jelasnya.
3. Ketakutan terhadap Tuntutan Hukum:
“Transparansi yang lebih besar bisa membuat Pemdes merasa rentan terhadap sorotan hukum atau tuntutan dari masyarakat, terutama jika ada potensi pelanggaran dalam pengelolaan dana,” lanjutnya.
4. Minimnya Sosialisasi Kebijakan Transparansi:
“Bisa jadi, kebijakan transparansi penggunaan dana belum disosialisasikan dengan baik. Pemdes merasa tidak wajib atau tidak yakin akan pentingnya memasang informasi keuangan desa secara terbuka,” tambahnya..
5. Keterbatasan Anggaran untuk Transparansi:
Agus Chepy menyebut, “Seringkali, anggaran untuk transparansi sangat minim, dan prioritas Pemdes lebih banyak pada operasional lain, dibandingkan pemasangan informasi PAD atau bantuan melalui media seperti banner,” ucapnya.
6. Budaya Administratif yang Konservatif:
“Budaya administratif di beberapa desa belum mendorong keterbukaan sebagai prioritas. Sebagian perangkat desa mungkin beranggapan, bahwa informasi keuangan desa adalah urusan internal, dan tidak perlu dipublikasikan,” ujar Agus.
Menurutnya, transparansi dalam pengelolaan dana desa sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. “Jika dilakukan dengan baik, transparansi ini bisa mendorong akuntabilitas yang lebih tinggi,” tambahnya.
– Kangkangi UU Keterbukaan Informasi Publik –
Saat ditanya tentang kemungkinan pelanggaran terhadap UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Agus Chepy Kurniadi menegaskan, “Tidak memasang informasi terkait PAD dan bantuan yang diterima desa dapat dianggap melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini mewajibkan badan publik, termasuk Pemdes, untuk transparan dan memberikan akses informasi kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas,” tandasnya.
Agus juga menjabarkan beberapa poin penting dalam UU KIP yang terkait dengan masalah ini:
1. Kewajiban Menyediakan Informasi Publik:
Pasal 9 UU KIP menyatakan, bahwa badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala, yang mencakup penggunaan anggaran dan laporan keuangan. “Seharusnya, informasi tentang PAD dan bantuan desa ini dapat diakses masyarakat,” tegasnya.
2. Hak Akses Informasi bagi Masyarakat:
Pasal 2 menyebutkan, bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan aturan yang berlaku. “Masyarakat berhak meminta informasi tentang PAD dan bantuan desa, dan Pemdes wajib menyediakan tanpa harus menunggu permintaan,” ujarnya.
3. Sanksi untuk Badan Publik yang Tidak Transparan:
UU KIP juga menetapkan sanksi administratif bagi badan publik yang tidak menjalankan keterbukaan informasi. “Meski sanksinya administratif, ini menunjukkan, bahwa negara serius dalam mendorong keterbukaan sebagai bagian dari tata kelola yang baik,” ungkapnya.
Agus Chepy menambahkan, bahwa kurangnya transparansi, ini dapat dilaporkan oleh masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada Komisi Informasi di tingkat provinsi. “Jika Pemdes tetap menolak transparan, masyarakat bisa mengajukan permohonan atau melaporkan kasus ini,” pungkasnya. (Red)