Ini Pasal yang Menjerat, Jika Pelaku Salahgunakan Lahan LMDH Perhutani Secara Ilegal
Jayantara-News.com, Jabar
Kasus penyalahgunaan lahan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Perhutani yang sering dimonopoli oleh oknum tertentu, memang tak luput dari perhatian publik. Banyak pihak menyoroti ketidakadilan distribusi lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat desa hutan.
Badru Yaman (Didoe), seorang aktivis yang vokal terhadap isu-isu yang melibatkan Perhutani, kembali menyuarakan keprihatinannya. Menurut Didoe, masalah utama terletak pada kurangnya transparansi dalam pengelolaan lahan oleh LMDH dan adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari alokasi lahan ini. Ia berpendapat bahwa lahan LMDH seharusnya dapat dikelola secara adil demi kesejahteraan masyarakat desa hutan, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.
Didoe juga menyoroti perlunya reformasi tata kelola lahan dan pengawasan ketat dari pemerintah terhadap lembaga yang mengelola sumber daya alam. Ia menyerukan agar pihak berwenang melakukan penyelidikan dan tindakan tegas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat desa hutan yang berhak atas pemanfaatan lahan tersebut.
Didoe menjelaskan, apabila terbukti ada pihak yang menyalahgunakan lahan LMDH secara ilegal, mereka dapat dikenai sejumlah pasal sesuai ketentuan hukum di Indonesia. Pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku antara lain:
1. Pasal 385 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):
Pasal ini mencakup penyerobotan lahan atau penempatan bangunan di atas lahan milik pihak lain tanpa hak. Jika terbukti ada pihak yang menduduki atau memonopoli lahan LMDH tanpa izin, pasal ini dapat diterapkan.
2. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
Berdasarkan UU ini, siapa pun yang merambah, merusak, atau mengambil manfaat dari kawasan hutan tanpa izin dari otoritas kehutanan dapat dikenai pidana. Pasal 50 dan Pasal 78 dari UU ini berpotensi menjerat pelaku penyalahgunaan lahan hutan.
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan:
UU ini bertujuan mencegah perusakan dan penyalahgunaan kawasan hutan oleh perorangan atau kelompok. Jika terbukti ada pihak yang mengambil keuntungan atau merusak kawasan hutan tanpa izin, mereka dapat dijerat pidana berdasarkan UU ini.
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
UU ini mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayahnya. Pihak yang menyalahgunakan lahan milik negara atau hutan dengan dalih monopoli dapat dikenai sanksi sesuai aturan dalam UU ini untuk melindungi hak-hak masyarakat atas lahan.
Adapun, pernyataan Didoe mengenai penerapan lex specialis mengacu pada prinsip hukum, bahwa aturan khusus (dalam hal ini, undang-undang yang berkaitan dengan hutan negara) akan mengesampingkan aturan umum (misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP) ketika ada tumpang tindih antara keduanya. Prinsip lex specialis derogat legi generali digunakan untuk memberikan prioritas pada peraturan yang secara khusus mengatur suatu bidang atau isu tertentu sehingga lebih relevan dibandingkan aturan umum yang lebih luas cakupannya.
Dalam konteks peraturan hutan negara, UU khusus yang berlaku di sektor kehutanan akan dianggap lebih tepat untuk diterapkan daripada aturan pidana umum dari KUHP jika ada perselisihan hukum yang melibatkan permasalahan di sektor kehutanan tersebut.
Didoe berharap, agar aparat penegak hukum (APH) bertindak tegas jika ada bukti pelanggaran hukum. Ia juga menekankan pentingnya transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan LMDH agar hak-hak masyarakat desa hutan benar-benar terlindungi. (Red)