Mengulas Statement Jenderal Polisi Hoegeng: “Yang Jujur Itu Polisi Tidur”
Oleh : Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Jabar
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso adalah sosok legenda dalam sejarah kepolisian Indonesia. Kepemimpinannya dikenal karena kejujuran, integritas, dan keberaniannya melawan segala bentuk korupsi. Namun, ungkapan “Yang jujur itu hanya polisi tidur”, seringkali dikaitkan dengannya untuk menggambarkan keprihatinan terhadap praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
Frasa ini mencerminkan kritik satir terhadap kondisi institusi penegak hukum pada masanya. Hoegeng, yang memimpin Polri dari 1968 hingga 1971, adalah simbol polisi bersih. Namun, dia juga menyadari tantangan besar yang dihadapi, termasuk korupsi sistemik yang sulit diberantas. Dengan humor khasnya, ungkapan itu menjadi peringatan, bahwa idealisme dalam tubuh Polri harus terus diperjuangkan.
Kejujuran Sebagai Pilar Utama
Hoegeng percaya, bahwa integritas adalah pilar utama seorang penegak hukum. Dalam praktiknya, dia menolak segala bentuk gratifikasi dan menegakkan aturan tanpa pandang bulu. Misalnya, saat menindak penyelundupan mobil mewah, dia berani melawan tekanan dari pihak-pihak berkepentingan, meski akhirnya menyebabkan kariernya berakhir lebih cepat.
Relevansi Ungkapan di Masa Kini
Ungkapan ini tetap relevan di tengah harapan masyarakat akan reformasi hukum. Publik seringkali mengaitkan integritas polisi dengan praktik seperti pungutan liar dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, banyak juga anggota kepolisian yang berusaha menegakkan kejujuran seperti yang dicontohkan Hoegeng.
Refleksi dan Harapan
Kisah Hoegeng mengajarkan, bahwa reformasi harus dimulai dari individu. Integritas tidak hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan memegang teguh nilai-nilai keadilan, frasa “yang jujur itu polisi tidur” tidak lagi menjadi sindiran, melainkan harapan nyata untuk Polri yang lebih baik.
Perbedaan antara polisi pada era Jenderal Hoegeng dan polisi sekarang dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1. Kepemimpinan dan Keteladanan
Era Hoegeng: Hoegeng memimpin dengan teladan. Ia dikenal tegas, bersih, dan tidak kompromi terhadap penyimpangan, bahkan dari lingkaran elite. Sikap hidupnya sederhana, jauh dari kemewahan, sehingga menjadi contoh nyata integritas dalam kepolisian.
Polisi Sekarang: Kepemimpinan yang kuat masih ditemukan pada individu tertentu, tetapi secara kelembagaan, masih ada tantangan besar dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat Polri terkadang mencoreng citra institusi.
2. Pengawasan dan Akuntabilitas
Era Hoegeng: Sistem pengawasan masih sederhana, tetapi Hoegeng memastikan integritas dimulai dari diri sendiri dan lingkungannya. Teknologi dan media saat itu belum berkembang untuk mengawasi kinerja polisi secara luas.
Polisi Sekarang: Sistem pengawasan telah meningkat dengan teknologi, seperti kamera pengawas (CCTV) dan pelaporan digital. Namun, masih ada kasus penyalahgunaan kewenangan. Akuntabilitas juga sering dipertanyakan dalam penanganan kasus besar atau saat publik melihat “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
3. Tantangan Institusi
Era Hoegeng: Tantangan terbesar adalah menghadapi tekanan politik dan birokrasi. Hoegeng seringkali berjuang sendiri melawan tekanan dari pejabat tinggi atau elite politik.
Polisi Sekarang: Tantangan institusi lebih kompleks, mulai dari pengaruh kekuatan politik, tekanan media sosial, hingga ekspektasi publik yang tinggi terhadap profesionalisme Polri. Namun, akses informasi membuat masyarakat lebih kritis terhadap perilaku polisi.
4. Kehidupan Pribadi
Era Hoegeng: Kehidupan pribadi Hoegeng sangat sederhana. Ia bahkan tidak memiliki rumah pribadi hingga pensiun, menunjukkan keteguhan dalam hidup bersih.
Polisi Sekarang: Gaya hidup sebagian pejabat kepolisian sering menjadi sorotan. Ada yang mempertontonkan kemewahan yang tidak sesuai dengan profil penghasilan resmi, memunculkan kritik terhadap potensi gratifikasi atau korupsi.
5. Reputasi dan Kepercayaan Publik
Era Hoegeng: Kepolisian pada masa Hoegeng mendapatkan kepercayaan tinggi berkat ketegasan dan kejujurannya. Ia menjadi simbol harapan bagi masyarakat.
Polisi Sekarang: Kepercayaan publik terhadap Polri saat ini masih fluktuatif. Meskipun ada banyak anggota yang bekerja profesional, insiden pelanggaran oleh oknum dapat merusak citra institusi secara keseluruhan.
Kesimpulan:
Era Hoegeng mengajarkan, bahwa integritas individu bisa menjadi fondasi kuat untuk reformasi institusi. Meski tantangan berbeda, esensi kepemimpinan bersih dan profesional tetap relevan untuk Polri masa kini. Reformasi tidak hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga masyarakat yang mendukung transparansi dan keadilan.
Pertanyaannya: Apakah kondisi saat ini memerlukan reformasi besar-besaran seperti era Hoegeng? (Red)