Nyamannya Jadi KORUPTOR di Indonesia: Siapa yang Patut Disalahkan?
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Jabar
Hampir seluruh masyarakat Indonesia menilai bahwa hukuman bagi para koruptor di Indonesia tidaklah setimpal dengan perbuatannya. Hukuman cenderung lebih ringan, sementara deposito hasil korupsi tetap menumpuk. Dalam penjara pun, kehidupan mereka seakan seperti di hotel berbintang. Fasilitas istimewa dan kunjungan keluarga yang eksklusif menjadi pemandangan umum, berbeda dengan perlakuan yang diterima napi-napi lainnya.
Kenapa bisa begini? Apakah karena hukum kita “mantul”—alias tidak konsisten? Atau karena aparat penegak hukum disumpal oleh uang hasil korupsi, sehingga semua persoalan tampak serba meringankan bagi sang pelaku?
Korupsi telah menjadi persoalan kronis di Indonesia. Tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mencederai rasa keadilan publik. Namun, kenyataannya, para koruptor seringkali mendapat privilese dalam proses hukum. Mulai dari vonis ringan, remisi, hingga fasilitas mewah di tahanan, semua ini semakin menguatkan stigma bahwa menjadi koruptor di Indonesia adalah “nyaman”.
Lalu, siapa yang patut disalahkan? Sistem peradilan? Aparat penegak hukum? Ataukah budaya yang telah terbentuk selama bertahun-tahun? Yang jelas, masyarakat semakin apatis terhadap penegakan hukum, karena rasa keadilan mereka sering kali diinjak-injak oleh perlakuan spesial terhadap para pelaku korupsi.
Ironisnya, alih-alih memberikan efek jera, kondisi ini malah memberikan kesan bahwa korupsi adalah “jalan pintas” menuju kenyamanan. Kelemahan dalam penegakan hukum ditambah dengan pengawasan yang minim membuat korupsi seakan menjadi kebiasaan yang sulit diberantas.
Jika situasi ini terus dibiarkan, apa yang akan terjadi dengan masa depan bangsa? Akankah korupsi menjadi budaya yang semakin mengakar? Sudah saatnya masyarakat, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa bersatu untuk melawan korupsi secara nyata. Karena tanpa langkah tegas, korupsi hanya akan terus menjadi “pekerjaan nyaman” bagi mereka yang tidak punya hati nurani.
Kita perlu mengingat bahwa perubahan tidak bisa hanya bergantung pada penegak hukum. Peran serta masyarakat dalam mengawasi dan menyuarakan kebenaran menjadi kunci penting dalam mendorong reformasi sistemik. Selama praktik korupsi masih dianggap “normal” atau “wajar”, maka perjuangan melawan korupsi akan tetap menemui jalan buntu.
Masyarakat harus tegas menunjukkan bahwa mereka tidak akan mentoleransi korupsi. Mengawasi jalannya pemerintahan, memanfaatkan ruang-ruang demokrasi, serta mendukung pemimpin yang bersih adalah langkah awal menuju perubahan. Tidak ada kemajuan tanpa keberanian, dan tidak ada keadilan tanpa tindakan nyata.
Akankah masyarakat berdiam diri, tatkala melihat kezaliman dan kesewenang-wenangan terus merajalela? Atau kita akan berdiri bersama, melawan hingga akar persoalan ini tercabut sepenuhnya?
Saatnya kita memilih: diam dan menerima, atau bangkit dan melawan. Masa depan bangsa ada di tangan kita bersama. (Red)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media Online Jayantara-News.com, Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jabar, Ketua LBHK-Wartawan Jabar