PTPN VII Tudingan Biadab: Rumah Warga Dirobohkan, Permintaan Maaf Kades Hanya Formalitas
Jayantara-News.com, Lampung Selatan
Penghancuran rumah-rumah warga di Desa Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, oleh PTPN VII pada Selasa, 13 Januari 2025, memicu kemarahan publik. Tragedi ini menyisakan luka mendalam bagi korban, sementara permintaan maaf dari Kepala Desa Natar, M. Arif, S.Pd, yang mengakui kelalaiannya menandatangani dokumen sporadik tanah sengketa, dianggap tak cukup menutupi dugaan pelanggaran hukum yang terjadi.
M. Arif dalam pernyataannya mengakui telah menandatangani sporadik lahan yang dikiranya masih berada di yurisdiksi Desa Natar. Namun, Peraturan Bupati Lampung Selatan tahun 2019 mengungkapkan bahwa lahan tersebut masuk wilayah Desa Sidosari. “Saya memohon maaf atas kelalaian ini. Namun sejak 8 Januari 2025, urusan di Kampung Pelita di luar kewenangan Desa Natar,” ujar Arif. Ia bahkan meminta warga menghentikan perlawanan di lokasi sengketa.
Namun, Moch. Ansory, S.H., advokat dari EMAS Law Firm, menilai permintaan maaf tersebut tidak relevan dalam konteks pelanggaran hukum berat yang telah terjadi. “Penghancuran rumah warga tanpa dasar hukum jelas melanggar Pasal 170 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Permintaan maaf tidak menghapus tanggung jawab pidana,” tegas Ansory.
Pasal 170 KUHP mengatur ancaman maksimal lima tahun enam bulan penjara atas tindakan kekerasan bersama terhadap orang atau barang. Dalam hal ini, penghancuran rumah warga oleh pihak PTPN VII dinilai memenuhi unsur kekerasan terhadap barang.
Selain itu, Ansory menyoroti bahwa eksekusi riel hanya sah berdasarkan perintah pengadilan. “Penghancuran rumah tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri adalah pelanggaran serius. Ini bukan eksekusi hukum, tetapi tindakan sewenang-wenang,” tambahnya.
Keterlibatan aparat keamanan, termasuk TNI dan Polri, yang berada di lokasi tanpa bertindak melindungi warga juga memicu kritik tajam. “Jika aparat hanya diam dan membiarkan penghancuran ini, itu adalah bentuk pembiaran yang mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum,” ungkap Ansory.
Ia mendesak PTPN VII memberikan ganti rugi atas kerugian material dan moral yang diderita warga. Selain itu, Ansory meminta seluruh pihak yang terlibat, termasuk aparat yang melakukan pembiaran, segera diajukan ke pengadilan.
“Ini bukan sekadar sengketa lahan. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan ketidakadilan sistemik. Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” tegasnya.
Warga Kampung Pelita kini menanti tindakan tegas dari pemerintah dan aparat hukum. Mereka mendesak agar kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk menghormati supremasi hukum dan melindungi hak asasi manusia. Tragedi ini menjadi ujian besar bagi integritas hukum dan keadilan di Indonesia. (Tim/Red)