Senyum yang Bukan Lagi Untukku
Langit senja meredup, seolah turut meratap bersama hatiku yang patah. Angin sore menyelusup lembut, membawa dingin yang tak hanya menyentuh kulit, tetapi juga jiwaku yang sepi. Di tanganku, undangan pernikahan itu terasa begitu berat, lebih berat dari semua kenangan yang kini tak lagi punya tempat. Namanya tertera di sana, bersanding dengan nama pria yang bukan aku.
Susi, perempuan yang selama ini meneduhkan hariku dengan senyum lembutnya, yang suaranya selalu kutunggu untuk mengisi keheningan malamku. Kami bukan sekadar sepasang kekasih; kami adalah dua jiwa yang pernah saling berjanji, atau setidaknya, itulah yang kupercaya.
Aku masih ingat bagaimana ia berbicara tentang rumah kecil di pinggir kota, taman bunga kesukaannya, dan pagi-pagi yang akan kami mulai dengan secangkir teh serta obrolan sederhana. Kami menenun masa depan dalam kata-kata dan impian, tanpa menyadari bahwa takdir telah menuliskan akhir yang berbeda.
Dan kini, aku berdiri di sini, sendirian, di hadapan kenyataan yang menertawakanku.
Aku mencoba menemuinya. Bukan untuk meminta alasan, sebab apalah artinya penjelasan saat segalanya telah terjadi? Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi, memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk yang akan hilang saat aku terjaga.
Ketika akhirnya aku menemukan Susi, ia tersenyum. Senyum yang sama, tapi terasa asing—seperti milik seseorang yang telah pergi jauh, meninggalkan segala yang pernah kami jalani.
“Aku tidak pernah ingin menyakitimu,” ucapnya pelan.
Aku menatapnya, ingin bertanya banyak hal—kenapa pergi? Kenapa memilih orang lain? Kenapa meninggalkanku dengan semua yang masih tersisa? Namun, bibirku kelu, dan pertanyaan-pertanyaan itu luruh begitu saja dalam sunyi yang menyiksa.
Aku hanya menyebut namanya pelan, “Susi…”
Tak ada lagi yang bisa kukatakan setelah itu.
Ia hanya tersenyum sebelum berbalik, melangkah pergi, meninggalkanku dengan hati yang lebih kosong dari sebelumnya.
Hari pernikahannya tiba lebih cepat dari yang kuduga. Aku datang, bukan untuk merestui, tetapi untuk menyaksikan bagaimana akhir kisah ini dituliskan tanpa aku di dalamnya. Di tengah tamu-tamu yang bersorak bahagia, aku berdiri diam, tenggelam dalam kesedihan yang hanya bisa kurasakan sendiri.
Susi tampak begitu cantik dalam gaun putihnya, seperti bidadari yang tak lagi bisa kugapai. Aku ingin percaya bahwa ia bahagia, bahwa meski bukan denganku, ia telah menemukan jalannya sendiri. Tapi saat mata kami bertemu untuk terakhir kalinya, ada sesuatu di sana—sebuah luka samar, kesedihan yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan.
Aku pergi sebelum akad selesai, sebelum aku harus mendengar janji yang seharusnya mungkin menjadi milikku.
Jalanan sore itu terasa begitu panjang, langkahku berat, dan hatiku hampa.
Cinta ini, yang kupikir akan abadi, ternyata hanyalah kisah yang tak pernah selesai seperti yang kuinginkan. Aku hanyalah lelaki yang tersisih di tengah cerita, sementara pemeran utama telah melangkah menuju akhir yang berbeda.
Bersambung…!