Retribusi Pasar Desa Karangpucung Cilacap Diduga Digasak: Siapa Bermain di Balik Uang Rakyat?
Jayantara-News.com, Cilacap
Kasus dugaan penyelewengan Pendapatan Asli Desa (PAD) dari retribusi Pasar Desa Karangpucung, Kecamatan Karangpucung, Cilacap, menjadi cerminan suram tata kelola keuangan desa di Indonesia. Setelah kepala desa sebelumnya terjerat kasus korupsi, kini muncul dugaan bahwa retribusi pasar yang seharusnya menopang pendapatan desa justru tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel.
Ironi di Balik Pasar Desa
Pasar Desa Karangpucung seharusnya menjadi aset produktif bagi desa. Namun, alih-alih menjadi sumber pendapatan, pasar ini justru memunculkan polemik baru. Dugaan penyimpangan dana retribusi muncul setelah kepemimpinan desa berganti dari kepala desa definitif yang terjerat korupsi ke Pelaksana Tugas (Plt) dan kemudian Penjabat Sementara (Pj). Sayangnya, pergantian ini tidak membawa perbaikan berarti dalam tata kelola keuangan desa.
Setelah kepala desa sebelumnya tersandung kasus korupsi, harapan muncul bahwa pengelolaan keuangan desa akan lebih baik di bawah kepemimpinan baru. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Masyarakat, termasuk organisasi masyarakat Gibas Cilacap, telah berulang kali menyuarakan aspirasi mereka melalui audiensi dengan pemerintah desa.
Dalam pertemuan itu, disepakati beberapa langkah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan retribusi pasar. Sayangnya, hingga kini, janji tersebut masih sebatas wacana tanpa tindakan nyata.
Dugaan Penyelewengan: Ada yang Bermain?
Ketidakjelasan aliran dana retribusi pasar menimbulkan kecurigaan bahwa dana tersebut tidak masuk ke kas desa sebagaimana mestinya. Dugaan bahwa uang retribusi digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu semakin kuat karena tidak adanya laporan keuangan yang transparan dan dapat diakses oleh masyarakat.
Hal ini melanggar prinsip keterbukaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama pada:
– Pasal 26 ayat (4) yang menegaskan bahwa kepala desa wajib mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
– Pasal 68 yang menyatakan bahwa masyarakat desa berhak memperoleh informasi dan mengawasi jalannya pemerintahan desa.
Jika dugaan penyimpangan terbukti, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur ancaman hukuman bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Tuntutan Masyarakat: Jangan Diam, Tegakkan Hukum!
Warga Karangpucung menuntut agar:
1. Pemerintah desa segera menindaklanjuti hasil audiensi dan mengimplementasikan kesepakatan perbaikan tata kelola keuangan.
2. Aparat penegak hukum turun tangan untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dan menindak tegas pihak yang terbukti bersalah.
3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjalankan fungsinya sebagai pengawas, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Desa, agar kasus serupa tidak terulang.
Kasus ini harus menjadi peringatan bagi semua pihak. Untuk mencegah terulangnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan desa, diperlukan reformasi yang menyeluruh:
– Pengawasan ketat oleh BPD dan pemerintah daerah untuk memastikan tidak ada celah bagi penyelewengan.
– Keterbukaan informasi keuangan desa, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
– Pelatihan bagi aparatur desa agar memahami prinsip tata kelola keuangan yang baik.
– Penegakan hukum yang tegas terhadap aparat desa yang terbukti menyelewengkan anggaran.
Kasus Pasar Desa Karangpucung adalah bukti nyata bahwa korupsi masih menjadi penyakit dalam pengelolaan keuangan desa. Masyarakat berharap aparat penegak hukum tidak menutup mata dan segera bertindak. Jangan biarkan dana yang seharusnya untuk kesejahteraan warga justru menjadi bancakan segelintir orang. (Buyung)