Hukum di Titik Nadir: Razman, Mafia Peradilan, dan Kematian Keadilan
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Razman Arif Nasution resmi kehilangan statusnya sebagai pengacara setelah Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten membekukan Berita Acara Pengambilan Sumpahnya. Firdaus Oiwobo mengalami nasib serupa. Keduanya dinilai melecehkan pengadilan dan layak diberhentikan dari profesi advokat.
Fenomena Razman yang ‘ngamuk’ terhadap Hotman Paris di pengadilan bukan sekadar konflik personal. Ini adalah cermin bobroknya sistem hukum Indonesia—sebuah panggung di mana pengacara lebih sibuk beradu gengsi daripada menegakkan keadilan. Kasus ini tidak hanya menandai kemarahan publik terhadap hukum yang carut-marut, tetapi juga lonceng kematian bagi dewi keadilan di negeri ini.
Kepercayaan publik terhadap penegak hukum sudah lama runtuh. Kekecewaan warga yang merasa dipermainkan sistem semakin sering meledak dalam aksi-aksi ekstrem. Beberapa bulan lalu, seorang pria nekat telanjang di ruang sidang PN Bekasi, sebagai bentuk frustrasi terhadap konspirasi hukum yang terang-benderang antara polisi, jaksa, dan hakim.
Kriminalisasi terhadap rakyat kecil oleh aparat hukum sudah menjadi fenomena sehari-hari. Polisi menetapkan orang benar sebagai tersangka, jaksa memprosesnya tanpa pertimbangan nurani, hakim mengetuk palu sesuai pesanan, dan pengacara lebih sibuk menghitung tarif jasa dibanding membela keadilan. Di tengah semua ini, kejahatan justru semakin leluasa beroperasi.
Masyarakat hanya bisa pasrah, bukan karena tidak peduli, tetapi karena takut dikriminalisasi jika berani melawan. Ini adalah buah dari sistem hukum yang telah kehilangan arah—di mana mafia peradilan berkuasa, dan rakyat kecil menjadi tumbalnya.
Mafia Hukum dan Kekayaan Tak Wajar
Polisi, jaksa, hakim, dan pengacara akan selalu menyangkal bahwa mereka tidak adil. Tapi mari kita bertanya: dari mana kekayaan luar biasa yang mereka miliki? Dari gaji resminya? Dari kerja jujur? Lalu, mengapa begitu banyak aparat hukum yang hidupnya berlimpah harta, memiliki mobil mewah, rumah megah, serta koleksi perhiasan bernilai miliaran rupiah?
Kasus demi kasus terus membongkar kebusukan ini. Kita sering mendengar hakim, termasuk dari Mahkamah Agung, tertangkap tangan menerima suap. Tidak lagi dalam jumlah jutaan, tapi miliaran. Salah satu yang paling mencengangkan adalah penangkapan Zarof Ricar dengan barang bukti suap hampir Rp1 triliun.
Dampak dari sistem hukum yang korup ini adalah penuhnya penjara oleh korban kriminalisasi, bukan oleh para kriminal sesungguhnya. Orang yang benar dijebloskan ke balik jeruji, sementara mereka yang punya uang, koneksi, dan kuasa bebas berkeliaran. Hukum telah menjadi senjata untuk membungkam, bukan untuk menegakkan keadilan.
Hukum di Ambang Kematian
Jika ada yang masih peduli dengan moralitas hukum di negeri ini, maka saat ini adalah waktu paling genting untuk bertindak. Diskusi demi diskusi telah digelar, seruan demi seruan telah disuarakan, tetapi kenyataannya kondisi semakin memburuk. Dewi keadilan kini berada di ambang kematian, dan tanpa perubahan radikal, ia akan benar-benar wafat.
Kasus Razman dan Firdaus hanyalah secuil dari absurditas hukum Indonesia. Seorang pengacara berseteru dengan pengadilan yang mengadilinya—sebuah ironi yang mencerminkan betapa hukum kita telah berubah menjadi lelucon yang menyedihkan.
Silakan pikirkan sendiri, jika Anda masih memiliki otak yang bisa berpikir. (Red)
Penulis adalah lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University (Inggris) dan bidang Applied Ethics dari Utrecht University (Belanda) serta Linkoping University (Swedia).