Ganjalan Perizinan “Oh” Perizinan
Oleh: Ir. Dony Mulyana Kurnia (Steering Committee Musprov KADIN Jabar VIII)
Jayantara-News.com, Jabar
Gagalnya pelaksanaan Musyawarah Provinsi (Musprov) VIII KADIN Jawa Barat yang sedianya digelar pada 3 Maret 2025 di Trans Luxury Hotel bukan sekadar soal teknis, melainkan cerminan lemahnya birokrasi perizinan di Indonesia. Pihak manajemen hotel yang telah menerima pembayaran penuh dari panitia akhirnya tidak berani memberikan izin penggunaan ballroom karena terganjal izin kepolisian yang tak kunjung terbit.
Padahal, ada tiga alasan kuat yang seharusnya menjadi dasar kepolisian untuk mengeluarkan izin pelaksanaan Musprov VIII KADIN Jabar:
1. SK Caretaker KADIN Jabar yang Sah
Dengan terbitnya SK Caretaker KADIN Jabar yang ditandatangani Ketua Umum KADIN Indonesia, Anindya Bakrie, otomatis musprov ini menjadi legal. SK ini juga sekaligus mendelegitimasi musprov dan pelantikan “ilegal” pengurus KADIN Jabar versi Almer Faiq Rusydi.
2. Legitimasi Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum KADIN Indonesia
Pengukuhan Anindya Bakrie dalam acara “Munas Pengukuhan” di Hotel Ritz Carlton Jakarta pada 16 Januari 2025, yang dihadiri langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto, secara resmi mengesahkan periodisasi kepemimpinannya untuk 2024-2029. Hal ini memperkuat legalitas seluruh keputusan dan produk hukum hasil Munaslub KADIN Indonesia pada September 2024, termasuk pengangkatan caretaker KADIN Jabar dan penyelenggaraan Musprov VIII.
3. Persetujuan dari KADIN Indonesia (Pusat)
Surat persetujuan pelaksanaan Musprov VIII dari KADIN Indonesia dengan nomor 963/KU/II/2025, yang ditandatangani oleh Anindya Bakrie dan ditujukan kepada Ketua Caretaker KADIN Jabar, Agung Suryamal Sutisno, menjadi dasar kuat untuk pelaksanaan musprov ini.
Kegagalan pelaksanaan Musprov KADIN Jabar VIII menjadi tamparan keras bagi sistem birokrasi Indonesia. Perizinan dari kepolisian, yang seharusnya bersifat administratif dan berdasarkan hukum, justru menjadi alat yang menghambat proses demokrasi di tubuh KADIN—organisasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 dan memiliki AD/ART yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI.
Namun, lebih dari sekadar perizinan, ada indikasi manuver tak sehat dalam upaya menggagalkan musprov ini. Terjadi pengerahan massa sekitar 200 orang berseragam hitam-hitam dengan “pin KADIN Jabar” yang diduga kuat dikendalikan oleh pihak tertentu yang mengatasnamakan pengurus KADIN provinsi.
Bukti nyata dari tindakan ini adalah insiden dorong-dorongan yang dialami Pak Yuyun (Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Kota Cirebon) dan Pak Syafe’i (Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Kabupaten Cirebon), yang dipaksa mundur dan dilarang memasuki ruang musprov. Tindakan intimidatif seperti ini jelas mencederai etika organisasi dan merusak citra KADIN di mata publik.
Manuver pengerahan massa yang dilakukan oknum tertentu ini harus mendapat sanksi organisasi dari KADIN Indonesia (pusat). Jika terbukti bersalah, keanggotaan mereka di KADIN sebaiknya dicabut karena telah melakukan pelanggaran berat dan mencoreng nama baik organisasi.
Di sisi lain, apresiasi tinggi layak diberikan kepada dua kandidat Ketua Umum KADIN Jabar, jajaran Caretaker KADIN Jabar, Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) musprov, serta seluruh KADIN daerah dan Anggota Luar Biasa (ALB). Mereka tetap bersikap dewasa dan tidak terpancing provokasi di lapangan, menerima dengan lapang dada pengunduran jadwal musprov ke pekan depan sesuai arahan dari KADIN Indonesia (pusat).
Kasus ini menjadi catatan penting dalam tata kelola birokrasi Indonesia, khususnya terkait perizinan kepolisian yang justru menjadi hambatan bagi organisasi resmi yang dibentuk oleh undang-undang. Jika perizinan bisa dipermainkan, maka demokrasi di tubuh organisasi seperti KADIN bisa terancam mati oleh kepentingan segelintir pihak.
Apakah kita akan membiarkan birokrasi yang lemah ini terus menghambat organisasi sekelas KADIN? Atau ini saatnya kita mendorong reformasi perizinan agar kejadian serupa tidak terulang? Waktunya bertindak. (Goes)