Dunia Terbalik: Pajak Naik 12 Persen, Rakyat Diperas untuk Sejahterakan Pemerintah
Jayantara-News.com, Jabar
Kenaikan pajak hingga 12 persen baru-baru ini memicu protes keras dari masyarakat. Kebijakan ini, yang disebut-sebut untuk menutup defisit anggaran negara dan mendukung berbagai program pemerintah, dianggap justru membebani rakyat yang sudah tertekan oleh berbagai masalah ekonomi. Alih-alih menjadi alat pemerataan kesejahteraan, pajak kini dirasa lebih menyerupai beban berat yang menguras daya beli masyarakat.
Beban Baru bagi Rakyat Kecil
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, kenaikan pajak ini bukan sekadar angka, melainkan pukulan langsung ke kantong mereka. Harga kebutuhan pokok yang sudah melonjak akibat inflasi semakin sulit dijangkau. Para pelaku usaha kecil pun mengeluhkan kenaikan biaya produksi yang tak terhindarkan akibat pajak yang lebih tinggi, membuat daya saing mereka semakin melemah di pasar.
Salah seorang pedagang kecil, Budi (45), menyebut bahwa pajak seperti ini justru membuatnya semakin sulit berkembang. “Pendapatan saya sudah kecil, sekarang pajak naik. Bukannya menyejahterakan rakyat, malah rasanya seperti diperas untuk menyejahterakan pemerintah,” ujarnya.
Narasi Pemerintah vs Realita Lapangan
Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan pajak ini bertujuan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, banyak pihak mempertanyakan transparansi dan efektivitas penggunaan dana pajak. Laporan-laporan tentang korupsi, proyek mangkrak, hingga alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran menjadi bukti kuat bahwa pengelolaan keuangan negara masih jauh dari harapan.
Ekonom senior, Dr. Andi Pratama, menilai bahwa kebijakan ini kurang memperhatikan situasi ekonomi masyarakat. “Memang benar pajak adalah sumber utama pendapatan negara, tetapi menaikkannya dalam kondisi ekonomi yang belum stabil dapat menyebabkan efek domino negatif, seperti menurunnya konsumsi masyarakat dan investasi,” jelasnya.
Ketimpangan yang Makin Melebar
Kritik lain juga datang dari pengamat sosial yang menyoroti bagaimana kebijakan ini memperbesar jurang ketimpangan sosial. Mereka menilai, kebijakan pajak yang kurang progresif cenderung lebih membebani masyarakat kecil dibandingkan mereka yang berada di lapisan atas.
“Rakyat kecil harus membayar lebih untuk barang dan jasa, sementara korporasi besar sering kali mendapatkan insentif atau kelonggaran pajak,” ungkap Lita, aktivis yang fokus pada isu keadilan sosial.
Harapan untuk Perubahan
Di tengah gejolak ini, masyarakat menyerukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik dari pemerintah. Mereka berharap agar dana pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elit.
Pajak seharusnya menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan sekadar instrumen untuk menambah pundi-pundi negara tanpa memikirkan beban rakyat. Jika tidak, rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, dan itu adalah ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik di masa depan.
Sejatinya, rakyat tidak menolak pajak. Yang mereka tuntut adalah keadilan dan keberpihakan, agar pajak tidak menjadi alat pemerasan, melainkan sarana pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. (Red)