Jelang Libur Tahun Baru, Tarif Melonjak dan Pungli Menggila di Pangandaran: APH Diam atau Ikut Terlibat?
Jayantara-News.com, Pangandaran
Menjelang libur Tahun Baru, lonjakan tarif wisata yang tidak wajar serta dugaan pungutan liar (pungli) di Pangandaran telah mencuat sebagai isu serius. Praktik-praktik ini tidak hanya mencoreng citra pariwisata lokal, tetapi juga berpotensi melibatkan pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah aparat penegak hukum (APH) akan bertindak tegas atau justru terlibat dalam praktik ilegal ini?
Masalah ini muncul setelah adanya aduan dari para pengunjung yang merasa dirugikan oleh kenaikan tarif yang tidak wajar dan adanya pungutan yang tidak sah. Lembaga Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat pun menerima laporan terkait hal ini. Ketua PPWI Jabar, Agus Chepy Kurniadi, pun kembali angkat suara mengenai fenomena yang meresahkan ini.
“Praktik pungutan liar dan lonjakan tarif yang tidak wajar di Pangandaran jelas merugikan wisatawan dan mencoreng nama baik pariwisata lokal yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan kita. Kami sebagai lembaga yang mewakili masyarakat sangat prihatin dengan kondisi ini dan berharap aparat penegak hukum, terutama di wilayah Pangandaran, dapat segera melakukan langkah tegas untuk memberantas praktik pungli ini. Jika terbukti ada keterlibatan oknum aparat dalam masalah ini, maka kami mendesak agar proses hukum dilakukan tanpa pandang bulu. Kepercayaan publik terhadap hukum akan hilang jika aparat tidak bertindak tegas,” ujar Agus Chepy Kurniadi.
Agus Chepy juga merinci terkait dugaan pungli yang merugikan wisatawan, yang dapat dikenai berbagai pasal pidana, di antaranya:
1. Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan
Pelaku pungli yang memaksa wisatawan untuk memberikan uang tanpa dasar hukum dapat dijerat dengan ancaman hukuman penjara hingga 9 tahun.
2. Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan
Uang yang ditarik tanpa disetorkan ke kas resmi dianggap sebagai penggelapan, yang dapat dikenakan hukuman penjara hingga 4 tahun.
3. Pasal 423 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat
Oknum pejabat yang terlibat dalam pungli dapat dijerat dengan Pasal 423 KUHP, yang mengatur penyalahgunaan jabatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun.
4. Pasal 12 e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pejabat negara yang memaksa seseorang memberikan uang secara melawan hukum dapat dijerat dengan ancaman pidana penjara hingga 20 tahun.
5. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan
Jika pungli dilakukan dengan tipu daya, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Peran Aparat Penegak Hukum: Diam atau Bertindak?
Dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam pungli bukanlah isu baru. Jika aparat hanya diam atau bahkan terlibat dalam praktik tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan semakin tergerus. Oleh karena itu, langkah tegas harus diambil untuk memastikan bahwa hukum tetap berlaku secara adil.
Apakah Aparat Akan Diam?
Jika aparat hanya menjadi penonton, mereka turut bertanggung jawab atas berkembangnya praktik pungli. Sebagai pelindung hukum, diamnya aparat merupakan bentuk kegagalan dalam menjalankan tugasnya.
Atau Ikut Terlibat?
Dugaan keterlibatan oknum aparat dalam pungli akan menjadi ancaman serius terhadap penegakan hukum itu sendiri. Jika ditemukan bukti keterlibatan, mereka dapat dijerat dengan Pasal 12 e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman yang sangat berat.
Langkah yang Harus Diambil
1. Operasi Tangkap Tangan (OTT):
Aparat kepolisian harus segera menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di lokasi-lokasi rawan pungli untuk menangkap pelaku langsung dan memberikan efek jera.
2. Pemeriksaan Internal:
Pemeriksaan internal harus dilakukan dengan transparan untuk mengungkap apakah ada keterlibatan anggota aparat penegak hukum dalam pungli. Penegakan hukum yang adil juga harus dimulai dari dalam institusi itu sendiri.
3. Pengadilan Terbuka:
Kasus pungli yang melibatkan oknum aparat harus disidangkan secara terbuka untuk memastikan transparansi dan membangun kepercayaan publik terhadap proses hukum yang berlangsung.
Diamnya aparat atau keterlibatan mereka dalam praktik pungli merupakan bentuk pelanggaran terhadap sumpah jabatan mereka. Sebagai penegak hukum, mereka harus menjadi garda terdepan dalam memberantas pungli dan korupsi, bukan justru menjadi bagian dari masalah tersebut.
Jika aparat tetap diam atau terlibat, maka ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat dan prinsip keadilan. Sebaliknya, tindakan tegas dan transparansi akan menunjukkan bahwa hukum tetap berdiri tegak untuk melindungi kepentingan publik, menjaga citra pariwisata, dan membangun rasa kepercayaan di masyarakat. (Tim JN)