Keadilan Diperkosa!!! Sidang Tanpa Rekonstruksi, Saksi Janggal dan Tuduhan Tanpa Bukti!
Jayantara-News.com, Soreang
Sidang lanjutan ketiga kasus salah tangkap 4 (empat) terpidana pembunuhan di Soreang kembali digelar pada Selasa, 18 Februari 2025, di Pengadilan Bale Bandung, Baleendah. Agenda utama persidangan adalah mendengarkan keterangan ahli pidana. Namun, ahli yang dijadwalkan hadir tidak dapat datang karena alasan tertentu.
Baca berita sebelumnya:
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Dwi ini dihadiri oleh tim kuasa hukum terdakwa yang dikomandoi oleh Herwanto, S.H., bersama Daniel Michel, S.H., dan Kordi Hasugian, S.H. Majelis hakim memberikan kesempatan kepada kuasa hukum untuk mengajukan kembali permohonan sidang di tempat serta menghadirkan kembali ahli pidana pada sidang berikutnya yang dijadwalkan minggu depan.
Kejanggalan yang Mencederai Keadilan
Dalam sidang ini, tim kuasa hukum menegaskan urgensi sidang di tempat kejadian perkara (TKP) guna mengungkap berbagai kejanggalan yang melekat pada kasus ini.
“Bagaimana mungkin dalam kasus pembunuhan yang begitu serius, sejak awal hingga vonis, tidak pernah dilakukan rekonstruksi di TKP? Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip due process of law!” tegas Herwanto.
Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun, dalam kasus ini, tidak ada satupun alat bukti forensik yang menguatkan tuduhan terhadap para terdakwa.
“Dalam hukum pidana, pelaku pasti meninggalkan jejak, apakah itu DNA, sidik jari, atau barang bukti yang relevan. Tapi di sini? Tidak ada sama sekali! Bagaimana bisa seseorang dijatuhi hukuman tanpa bukti yang sahih?” tambahnya.
Tim kuasa hukum juga menyoroti kejanggalan dalam keterangan saksi. Dua saksi mengklaim melihat terdakwa melakukan pemukulan terhadap korban, namun saat kejadian ada lebih dari sepuluh orang di lokasi.
“Jika mereka benar-benar berada di TKP, mengapa hanya empat orang yang mereka tuduh? Bagaimana dengan orang-orang lain di tempat kejadian? Kesaksian yang berat sebelah ini patut dipertanyakan,” ujar Daniel Michel.
Saksi, Bukti Lemah, dan Tuduhan yang Dipaksakan
Lebih lanjut, kuasa hukum menyoroti kesaksian yang dinilai tidak masuk akal. Salah satu saksi mengklaim bahwa korban pergi membeli es kelapa muda pada pukul 01.00 dini hari.
“Kami ingin majelis hakim menggunakan akal sehat. Apakah ada warung kelapa muda yang buka jam satu pagi? Jika pun ada, tolong tunjukkan di mana lokasinya!” tantangnya.
Selain itu, barang bukti yang diajukan juga diragukan relevansinya dengan pasal yang disangkakan.
“Barang bukti yang diajukan hanyalah kemeja, celana, satu potong sarung golok, dan senter. Apa hubungannya dengan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan? Ini absurd dan tidak masuk akal!” tegas Kordi Hasugian.
Pasal 170 KUHP menyebutkan bahwa pengeroyokan harus dibuktikan dengan adanya kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun, dalam kasus ini, tidak ada bukti medis atau forensik yang secara langsung mengaitkan terdakwa dengan peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa korban.
Ketidakadilan yang Mengorbankan Nyawa dan Keluarga
Kasus ini bukan hanya tentang salah tangkap, tetapi juga tentang bagaimana sistem peradilan pidana dapat mencederai kehidupan orang-orang yang tidak bersalah. Salah satu terdakwa bahkan kehilangan istrinya akibat tekanan psikologis yang luar biasa dari kasus ini.
“Keluarga terdakwa tidak menolak hukum, tetapi mereka menuntut keadilan yang sesungguhnya. Jika klien kami memang bersalah, hukum harus ditegakkan. Tapi jika tidak, mengapa mereka harus dikorbankan? Kami minta Mahkamah Agung turun tangan!” tegas Herwanto.
Di akhir persidangan, tim kuasa hukum menantang jaksa untuk menghadirkan kembali saksi yang memberikan keterangan janggal.
“Hukum pidana harus seterang cahaya. Tidak boleh ada keraguan dalam menjatuhkan hukuman. Jika ada ketidakpastian, maka seharusnya para terdakwa dibebaskan!” pungkasnya.
Dengan sederet kejanggalan yang muncul, publik kini menanti apakah majelis hakim akan benar-benar menegakkan keadilan atau justru membiarkan kezaliman terus berlanjut. (Nuka)