Kemacetan dan Banjir Tak Kunjung Usai, Pengamat: “Ini Bukan Takdir, Tapi Gagal dan Buruknya Kepemimpinan!”
Jayantara-News.com, Bandung
Kemacetan yang semakin parah dan banjir yang terus berulang bukan sekadar fenomena alam atau konsekuensi pertumbuhan kota. Keduanya adalah bukti nyata dari buruknya perencanaan dan kegagalan kepala daerah dalam mengelola wilayahnya. Hal ini ditegaskan oleh pengamat kebijakan publik, Agus Chepy Kurniadi, dalam diskusi dengan rekan-rekan media di Bandung, belum lama ini.
“Seharusnya, pemerintah daerah memiliki visi yang jelas dalam membangun infrastruktur yang bukan hanya mengejar modernisasi, tetapi juga mampu mengantisipasi masalah perkotaan di masa depan. Namun faktanya, banyak kota justru terjebak dalam pola yang sama: jalanan padat, macet di setiap sudut, dan genangan air yang berubah menjadi banjir setiap kali hujan deras turun,” ujarnya.
Menurutnya, kemacetan tidak terjadi begitu saja. Minimnya pembangunan jalan alternatif, buruknya sistem transportasi publik, serta lemahnya penegakan aturan lalu lintas menjadi faktor utama. Lebih parah lagi, solusi yang ditawarkan sering kali tidak menyentuh akar masalah. “Alih-alih mencari solusi yang konkret, banyak kepala daerah justru sibuk dengan proyek-proyek mercusuar yang hanya mempercantik laporan kinerja mereka, tapi tidak menyelesaikan problem warga,” tuturnya.
Begitu pula dengan banjir yang semakin sering terjadi. Drainase buruk, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta proyek-proyek yang lebih menguntungkan pengembang dibanding kepentingan rakyat adalah bukti nyata kebijakan yang abai terhadap lingkungan.
“Banjir dan kemacetan ini bukan bencana alam semata, melainkan bencana kebijakan. Jika perencanaan kota dilakukan dengan baik, sistem drainase dibangun dengan standar yang benar, dan penegakan hukum atas tata ruang dijalankan dengan tegas, bencana seperti ini bisa diminimalkan,” ungkap Agus Chepy.
Ia pun mengingatkan, jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya mobilitas yang terganggu, tetapi juga kualitas hidup masyarakat yang akan semakin menurun.
“Masyarakat harus lebih kritis dan cermat dalam memilih pemimpin. Kota yang nyaman bukanlah hasil dari janji-janji politik semata, tetapi dari kepemimpinan yang memiliki visi, keberanian, dan kemauan untuk benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk segelintir elite,” tegasnya. (Darwin JN)