Ketika Caleg Gagal Membalikkan Logika Hukum: Bermodus Licik, Jadikan Ustadz Tumbal Ambisi Politik
Jayantara-News.com, Jakarta
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan ruang bagi calon legislatif (Caleg) yang gagal dalam Pemilu untuk menggugat jika merasa dirugikan. Namun, apa jadinya jika justru seorang Ustadz, pengasuh Pondok Pesantren “FISABILILLAH” di Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, menjadi korban gugatan yang dipaksakan?
Ustadz Endang Sudarso kini berstatus Tergugat I dalam perkara di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Jakarta Timur akibat gugatan wanprestasi yang diajukan oleh dr. Reno Yovial, seorang caleg dari Partai UMMAT (Dapil 6 DKI Jakarta, nomor urut 2) yang gagal meraih kursi parlemen dalam Pemilu 2024.
LATAR BELAKANG PERKARA
Perkara ini bermula dari informasi yang diterima Tergugat III, H. Abu Bakar, mengenai adanya program hibah bagi caleg pendukung pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN). Hibah ini disebut akan diberikan kepada caleg yang memiliki saldo rekening minimal Rp500 juta hingga Rp1 miliar, dengan janji pencairan Rp50-100 miliar.
Informasi ini kemudian diteruskan oleh Tergugat I (Ustadz Endang) kepada beberapa relasi, termasuk dr. Hakim, yang kemudian memberitahukannya kepada istrinya, Ny. Desni. Informasi ini sampai ke dr. Reno Yovial (Penggugat) yang tertarik untuk ikut serta.
Penggugat bersama keluarganya akhirnya menemui Tergugat II (Guntur Wibawanto) di Tebet, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan tertutup, Tergugat II berhasil membujuk Penggugat untuk menginvestasikan dana Rp1 miliar sebagai modal usaha, dengan janji keuntungan Rp50-150 miliar.
Namun, tanpa sepengetahuan Tergugat I (Ustadz Endang) dan Tergugat III (H. Abu Bakar), Penggugat dan Tergugat II membuka rekening bersama untuk menampung dana Rp1 miliar tersebut. Belakangan, dana itu dialihkan ke rekening pribadi Nugraha Syahbana, yang diklaim sebagai pemilik dana investasi besar.
Dalam kesepakatan tertulis, disebutkan bahwa dana Rp1 miliar akan dikembalikan jika proyek investasi tidak terealisasi. Namun, hingga kini, keuntungan yang dijanjikan tidak pernah didapatkan Penggugat.
PROSES PERADILAN: GUGATAN DIPAKSAKAN DAN CACAT FORMIL
Kuasa hukum Tergugat I, H. Alfan Sari, Efendi Santoso, dan Amirah LM, menilai gugatan ini sangat dipaksakan dan berpotensi tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh pengadilan. Mereka menyoroti beberapa kelemahan formil, antara lain:
1. Error In Persona – Salah pihak yang digugat. Ustadz Endang tidak pernah menerima uang dan tidak terlibat dalam transaksi.
2. Surat Kuasa Cacat Formil – Melanggar Pasal 123 ayat (1) HIR, yang mengatur keabsahan surat kuasa dalam persidangan.
3. Gugatan Dipaksakan – Penggugat dipaksa menandatangani Perjanjian Pembayaran Atas Jaminan Pengembalian Pinjaman, yang seakan-akan mewajibkan para tergugat untuk mengakui adanya pinjaman yang tidak pernah mereka terima.
“Logikanya sederhana. Klien kami tidak pernah menerima uang Rp1 miliar, tidak tahu-menahu soal transaksi, tapi malah digugat untuk mengembalikan uang yang tidak pernah dia ambil. Ini jelas rekayasa!” tegas H. Alfan Sari, advokat yang juga penyandang sabuk hitam Shorinji Kempo PERKEMI.
Meski demikian, pihaknya akan tetap mengikuti jalannya persidangan. “Kami yakin Majelis Hakim akan bersikap profesional dan tidak akan melukai rasa keadilan,” tambahnya.
Sidang lanjutan perkara ini dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 20 Februari 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi.

Kasus ini menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan di Indonesia. Seorang Ustadz yang sama sekali tidak terlibat dalam transaksi keuangan malah dijadikan target gugatan. Jika ini dibiarkan, maka siapa saja bisa dijadikan kambing hitam dalam sengketa keuangan tanpa dasar hukum yang jelas.
Masyarakat kini menanti sikap tegas Majelis Hakim untuk menolak gugatan ini dan mengembalikan keadilan ke jalurnya. Jangan sampai hukum justru diperalat oleh mereka yang ingin mencari kambing hitam atas kegagalan politik mereka sendiri. (Goes)