Ketua PPWI Jabar Prihatin! Bobroknya Institusi Polri Karena Kurang Tegasnya Pimpinan
JAYANTARA NEWS, Bandung
Kebobrokan institusi Polri memang menjadi salah satu isu yang kerap dibahas, terutama ketika menyangkut kasus-kasus yang melibatkan oknum aparat penegak hukum. Kasus-kasus seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan hukum, hingga pelanggaran etika sering kali menjadi sorotan media dan publik. Hal ini menyebabkan semakin tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
Ada beberapa faktor yang memperparah situasi ini:
1. Minimnya Akuntabilitas: Banyak kasus pelanggaran hukum oleh oknum polisi yang ditangani secara internal, yang sering kali tidak transparan dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Tidak adanya sanksi tegas terhadap pelaku menambah kesan, bahwa institusi ini melindungi anggotanya yang bersalah.
2. Penyalahgunaan Kekuasaan: Kasus-kasus yang melibatkan penyalahgunaan wewenang sering kali dilihat sebagai tanda, bahwa institusi Polri gagal menegakkan disiplin di internal mereka. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap kemampuan polisi untuk melindungi mereka.
3. Korupsi dan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme): Masalah ini menjadi bagian dari budaya di banyak sektor pemerintahan, termasuk di Polri. Korupsi sering kali dianggap sebagai salah satu penyebab kegagalan penegakan hukum yang adil.
4. Ketidaktegasan Pimpinan: Kurangnya tindakan tegas dari pimpinan Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bawahannya membuat masyarakat semakin skeptis terhadap keseriusan institusi ini untuk melakukan reformasi.
Mencermati beberapa persoalan di atas, Agus Chepy Kurniadi, selaku Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) wilayah Jawa Barat, pun turut prihatin. Ia sampaikan, bahwa untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, Polri perlu menunjukkan komitmen yang nyata dalam menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi, meningkatkan transparansi, serta memperkuat akuntabilitas di dalam tubuh mereka. “Sementara, rehabilitasi institusi membutuhkan upaya yang konsisten dan berkelanjutan dari semua lapisan dalam struktur Polri,” tandasnya.
Agus juga menyebut, bahwa fenomena oknum polisi yang merajalela menjadi salah satu masalah serius yang menurunkan citra institusi Polri di mata masyarakat. Istilah “oknum” sering kali digunakan untuk menggambarkan anggota polisi yang terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum atau etika, seperti penyalahgunaan wewenang, korupsi, kekerasan, hingga pelanggaran HAM.
Beberapa faktor yang mendorong perilaku oknum polisi ini antara lain:
1. Minimnya Pengawasan Internal: Pengawasan yang lemah terhadap perilaku anggota Polri di berbagai tingkatan sering kali menjadi celah bagi oknum untuk melakukan penyimpangan. Proses pengawasan internal yang tidak transparan juga mempersulit deteksi dini terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
2. Budaya Kekuasaan: Dalam beberapa kasus, oknum polisi merasa memiliki kekuasaan lebih besar dari masyarakat biasa dan terkadang menggunakannya untuk menekan atau mengambil keuntungan. Ini termasuk intimidasi, suap, dan tindakan yang tidak sesuai dengan tugas kepolisian.
3. Kurangnya Pendidikan Etika dan Moralitas: Meski anggota Polri menjalani pendidikan formal, penanaman nilai-nilai etika dan moralitas sering kali tidak terinternalisasi secara mendalam. Akibatnya, oknum yang kurang memiliki integritas bisa tergoda untuk memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi.
4. Sanksi yang Kurang Tegas: Sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh oknum polisi terkadang tidak setegas yang diharapkan. Banyak kasus yang diselesaikan secara internal dan tertutup, yang mengakibatkan kurangnya efek jera dan mengurangi kepercayaan publik.
5. Korupsi yang Sistemik: Dalam beberapa situasi, oknum polisi terlibat dalam jaringan korupsi yang lebih luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini membuat masalah menjadi lebih sulit dipecahkan karena terintegrasi dalam sistem yang lebih besar.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi mendasar dalam institusi kepolisian, termasuk peningkatan transparansi, pemberian sanksi yang tegas, dan perbaikan sistem pengawasan. Selain itu, pendidikan moral dan etika yang lebih kuat bagi anggota Polri juga menjadi penting agar peran polisi sebagai pengayom masyarakat bisa dijalankan dengan lebih baik. (Red)