Kriminalisasi Warga! Dugaan Salah Tangkap di Soreang: 4 Orang Dipenjara Tanpa Bukti Kuat, Kuasa Hukum Ajukan PK
Jayantara-News.com, Soreang
Kasus dugaan salah tangkap di Soreang semakin menguak kejanggalan hukum yang mencederai keadilan. Empat warga: Maman, Mamad, Salman Alfarizi, dan Mulyadi, telah mendekam di penjara selama 14 bulan setelah divonis 7 tahun atas kasus pengeroyokan yang menyebabkan kematian. Namun, bukti-bukti yang ada justru menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar bukan pelaku.
Kini, kuasa hukum mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan harapan dapat mengungkap kebenaran dan membebaskan mereka dari hukuman yang diduga hasil rekayasa. Jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang, para Aparat Penegak Hukum (APH) yang menangani kasus ini bisa dijerat dengan berbagai pasal pidana dan etik.
KEJANGGALAN KASUS: KEADILAN DIPERMAINKAN?
1. Rekonstruksi yang Tidak Transparan
Proses rekonstruksi tidak dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP), melainkan hanya di kantor polisi. Ini bertentangan dengan Pasal 184 KUHAP, yang mengatur bahwa alat bukti yang sah harus berdasarkan fakta yang diperoleh secara sah.
2. Kesaksian yang Bertentangan
– Kang Diding melihat korban masih hidup keesokan harinya, sedangkan versi polisi menyebut korban tewas di malam kejadian.
– Yunus, tukang parkir, mengaku melihat korban pada Sabtu malam, bertentangan dengan pernyataan bahwa korban sudah tewas sejak Jumat.
– Saksi utama yang menuduh para terpidana mengaku berada di TKP pukul 01.30 dini hari untuk membeli es kelapa, padahal warung tersebut tutup sejak pukul 17.00.
Keterangan yang bertolak belakang ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam kasus ini. Jika APH memaksakan tuduhan tanpa bukti kuat, mereka bisa dijerat Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang dengan ancaman 2 tahun 8 bulan penjara.
3. Penangkapan Tanpa Dasar Hukum yang Jelas
Para terpidana awalnya hanya dimintai keterangan sebagai saksi, namun tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka tanpa surat penangkapan. Ini melanggar Pasal 17 KUHAP, yang mengharuskan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Jika terbukti ada penahanan sewenang-wenang, APH yang terlibat bisa dijerat dengan Pasal 333 KUHP, yaitu pidana terhadap orang yang secara melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, dengan ancaman 8 tahun penjara.
4. Dugaan Penyiksaan untuk Memaksakan Pengakuan
– Mamad mengalami luka di telinga dan mata akibat dugaan kekerasan selama pemeriksaan.
– Maman sampai berkata, “Bunuh saja sekalian,” karena tidak tahan dengan siksaan yang dialami.
Jika benar ada penyiksaan untuk memaksa pengakuan, ini melanggar Pasal 422 KUHP, yang menyatakan bahwa pejabat yang memaksa seseorang memberikan pengakuan dengan kekerasan atau ancaman dapat dipidana 4 tahun penjara.
Selain itu, ini juga melanggar Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang secara tegas melarang penyiksaan dalam bentuk apa pun.
5. Santunan Rp180 Juta: Jual Beli Keadilan?
Pihak keluarga diminta membayar Rp180 juta sebagai bentuk permintaan maaf kepada keluarga korban. Jika para terpidana benar bersalah, mengapa ada upaya “damai” dengan pembayaran? Apakah ini indikasi adanya praktik jual beli keadilan? Jika benar terjadi pemerasan, pelakunya bisa dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman 9 tahun penjara.
KEADILAN SEDANG DIUJI!
Kasus ini bukan hanya soal empat orang yang dijebloskan ke penjara tanpa bukti kuat, tetapi juga tentang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Jika kejanggalan ini dibiarkan, siapa yang bisa menjamin tidak akan ada korban salah tangkap lainnya?
Kini, semua mata tertuju pada majelis hakim yang menangani PK ini. Apakah mereka akan berani mengoreksi ketidakadilan ini, atau justru membiarkan hukum terus dipermainkan?
Keluarga dan kuasa hukum berharap keputusan majelis hakim kali ini benar-benar berpihak pada keadilan, bukan kepentingan oknum. Sebab, jika hukum bisa dibeli dan direkayasa, siapa pun bisa menjadi korban berikutnya! (Nuka)