Mengenal Budaya Nadran: Tradisi Pesisir Menyambut Bulan Suci
Jayantara-News.com, Bandung
Indonesia kaya akan budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Nadran, sebuah ritual sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir, terutama di wilayah pantai utara Jawa seperti Cirebon, Indramayu, dan daerah pesisir lainnya. Tradisi ini biasanya diadakan menjelang bulan Ramadan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang melimpah, serta doa keselamatan bagi para nelayan.
Asal Usul Tradisi Nadran
Secara etimologi, kata Nadran berasal dari bahasa Arab nazr, yang berarti nazar atau janji. Tradisi ini diyakini telah ada sejak ratusan tahun lalu, berkembang dari akulturasi budaya Islam dengan kearifan lokal masyarakat pesisir yang sebelumnya memiliki ritual sedekah laut sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Ketika Islam masuk ke Nusantara, tradisi ini tetap dipertahankan dengan nuansa keislaman, di mana doa-doa dan syukuran lebih ditekankan kepada Allah SWT.
Dalam Islam, mengungkapkan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah merupakan bagian dari keimanan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa tidak bersyukur atas yang sedikit, maka ia tidak akan bersyukur atas yang banyak.”
(HR. Ahmad, no. 18368, dinilai sahih oleh Syekh Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3014)
Hal ini sejalan dengan nilai yang terkandung dalam tradisi Nadran, di mana masyarakat pesisir mengekspresikan rasa syukur mereka atas hasil laut yang diperoleh.
Rangkaian Ritual Nadran
Pelaksanaan Nadran melibatkan berbagai prosesi, antara lain:
1. Doa dan Tahlilan Bersama
Sebelum prosesi utama, masyarakat menggelar doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau pemuka adat. Ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan untuk memohon keberkahan dan keselamatan para nelayan.
2. Arak-arakan Laut dan Pelarungan
Para nelayan menghias perahu mereka dengan warna-warni dan membawa sesaji ke tengah laut. Dalam praktik yang lebih Islami, sesaji seperti kepala kerbau telah banyak digantikan dengan sedekah makanan kepada kaum dhuafa atau santunan kepada anak yatim.
3. Pesta Rakyat dan Silaturahmi
Sebagai bagian dari perayaan, masyarakat menggelar berbagai hiburan tradisional seperti wayang kulit, tarian daerah, dan pasar rakyat. Kegiatan ini menjadi ajang mempererat silaturahmi serta menjaga kearifan budaya setempat.
Makna dan Nilai Budaya
Tradisi Nadran bukan sekadar ritual adat, tetapi juga memiliki makna mendalam, di antaranya:
– Ungkapan syukur atas rezeki yang diberikan Allah.
– Doa keselamatan bagi para nelayan yang setiap hari berhadapan dengan ombak.
– Pelestarian budaya sebagai warisan leluhur yang terus dijaga.
– Ajang silaturahmi dan memperkuat nilai kebersamaan dalam masyarakat.
Seiring berkembangnya zaman, pelaksanaan Nadran mulai mengalami penyesuaian agar tetap sesuai dengan ajaran Islam. Beberapa daerah telah mengganti praktik pelarungan sesaji dengan bentuk sedekah yang lebih bernilai ibadah, seperti berbagi makanan atau memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta. Allah tidak akan menambah seseorang dengan sifat pemaaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Dia akan meninggikannya.”
(HR. Muslim no. 2588)
Hadis ini mengajarkan bahwa sedekah dan berbagi kepada sesama justru akan mendatangkan keberkahan, sebagaimana esensi dari tradisi Nadran yang bertujuan untuk menebar kebaikan.
Nadran dalam Perspektif Islam
Bagi sebagian umat Muslim, Nadran bukan hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga memiliki makna spiritual. Ziarah ke makam leluhur dalam rangkaian Nadran sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi mereka yang telah wafat. Dalam Islam, mendoakan orang yang telah meninggal adalah perbuatan yang dianjurkan, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
(HR. Muslim no. 1631)
Namun, ada pula pandangan yang lebih ketat dalam memahami ajaran Islam yang menyoroti praktik pemberian sesajen. Dalam Islam, segala bentuk ibadah harus ditujukan kepada Allah SWT semata. Oleh karena itu, sebagian masyarakat telah menyesuaikan tradisi ini dengan menghilangkan unsur-unsur yang berpotensi bertentangan dengan ajaran tauhid.
Meskipun demikian, banyak umat Muslim yang tetap menjalankan Nadran dengan menitikberatkan pada doa, sedekah, dan kebersamaan, menjadikannya sebagai bentuk budaya yang tetap sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan memahami budaya Nadran, kita semakin menyadari betapa kaya dan uniknya tradisi di Nusantara, serta pentingnya menjaga dan melestarikan warisan leluhur agar tetap hidup di tengah perubahan zaman. (Restu)