Percakapan dengan Penyidik Polda Riau, Ketum PPWI Kecam Polri yang Bergantung pada Dewan Pers
Jayantara-News.com, Jakarta
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, kembali menyoroti independensi dan profesionalisme aparat kepolisian dalam menangani kasus hukum yang menimpa seorang jurnalis. Dalam percakapan melalui WhatsApp pada Kamis, 20 Februari 2025, dengan penyidik Polda Riau, Brigpol Yudha, Wilson menegaskan bahwa Polri harus berdiri di atas hukum yang berlaku dan tidak terpengaruh oleh intervensi pihak luar, termasuk Dewan Pers.
Wilson menekankan bahwa penegakan hukum terhadap jurnalis harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan pada ketentuan internal Dewan Pers, yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum yang mengikat.
Polri Diminta Tidak Bergantung pada Dewan Pers
Percakapan tersebut diawali oleh Brigpol Yudha yang menginformasikan bahwa pertemuan dengan Wilson Lalengke tidak dapat berlangsung karena adanya tugas mendadak.
“Selamat siang Pak… Mohon izin sebelumnya, sepertinya hari ini tidak bisa berjumpa Pak. Kebetulan barusan mendapat perintah ada kegiatan mendadak,” tulis Brigpol Yudha dalam pesannya.
Menanggapi hal itu, Wilson mengingatkan agar Polri tidak gegabah dalam menangani kasus jurnalis Leo Amaron, yang tengah terancam menjadi tersangka dugaan pencemaran nama baik.
“Jangan sampai salah menetapkan kebijakan dari teman-teman polisi. Kalau ada yang perlu saya bantu meluruskan persoalan, silakan kontak saja. Tapi saya berharap jangan sampai dinaikkan jadi tersangka. Itu sangat berbahaya bagi kebebasan pers,” ujar Wilson dalam pesan suara kepada Yudha.
Wilson juga menegaskan bahwa jika kasus ini tetap dipaksakan naik ke penyidikan, ia siap membawa perkara ini ke praperadilan di Jakarta dan menggugat Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Saat Brigpol Yudha menyatakan bahwa kepolisian akan berkonsultasi dengan Dewan Pers sebelum mengambil keputusan lebih lanjut, Wilson menolak tegas langkah tersebut.
“Dewan Pers itu bukan lembaga negara yang boleh menentukan aturan hukum. Itu hanya organisasi masyarakat, NGO, bukan lembaga negara. Kepolisian tidak boleh tergantung kepada Dewan Pers. Keputusan mereka tidak mengikat!” tegas Wilson.
Kritik terhadap MoU Polri-Dewan Pers
Wilson juga mengkritik Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dan Dewan Pers, yang menurutnya telah menempatkan lembaga swasta ini seolah-olah sebagai regulator hukum pers di Indonesia.
“Kapolri pimpinanmu itu salah langkah! Masa’ bikin MoU seperti itu dengan Dewan Pers? Siapa mereka? Kenapa lembaga negara harus tunduk pada lembaga swasta?” ujarnya dengan lantang.
Ia juga menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum terhadap wartawan, terutama bagi jurnalis yang berani mengungkap kasus korupsi.
“Dewan Pers itu sudah berkali-kali saya bilang, harus dibubarkan! Itu lembaga yang dibentuk oleh kelompok tertentu, terutama oleh orang-orang di PWI yang korup. Tapi polisi kok takut? Wartawan yang jelas-jelas melakukan korupsi saja tidak diproses,” sindirnya.
Wilson menegaskan bahwa jika Polri tetap bersikeras menetapkan Leo Amaron sebagai tersangka, ia akan menggugat kepolisian, bahkan hingga ke Presiden.
“Kalau kalian tetap bersikukuh mempersoalkan wartawan, saya akan gugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan! Saya tarik Presiden sekalian sebagai tergugat!” pungkas alumni PPRA-48 Lemhannas RI 2012 itu.
Independensi Polri Dipertanyakan
Percakapan ini kembali menyoroti pentingnya independensi Polri dalam menangani kasus yang melibatkan jurnalis. Jika Polri terus bergantung pada MoU dengan Dewan Pers, maka kebebasan pers di Indonesia bisa semakin terancam.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Dewan Pers benar-benar memiliki kewenangan dalam menentukan status hukum suatu berita? Ataukah perannya hanya sebatas advokasi dan mediasi, bukan regulator yang mengikat secara hukum?
Hingga kini, kasus Leo Amaron masih menjadi perhatian publik. Masyarakat dan komunitas pers menantikan langkah Polri berikutnya: Apakah tetap tunduk pada Dewan Pers, atau berdiri independen dalam menegakkan hukum? (Tim/Red)