Polemik Transparansi Biaya Pelayanan Kepolisian, Wilson Lalengke: Bukti Polri Terperangkap Korupsi Sistemik
Jayantara-News.com, Jakarta
Sebuah unggahan di media sosial yang memuat daftar harga layanan Kepolisian telah memicu perdebatan publik yang luas di Indonesia. Dalam unggahan tersebut, tercantum pricelist yang tidak resmi untuk berbagai layanan polisi, dengan biaya yang bervariasi, mulai dari layanan gratis hingga mencapai ratusan juta rupiah. Unggahan ini mencuat setelah kasus penolakan permintaan bantuan oleh Kapolsek Cinangka, Banten, dalam kasus kematian pemilik mobil rental yang melibatkan oknum Kopaska TNI Angkatan Laut.
Postingan yang viral di media sosial serta grup WhatsApp ini menggambarkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat atas perilaku memalukan yang diduga melibatkan oknum polisi. Masyarakat menilai bahwa penolakan terhadap layanan kepolisian terjadi akibat kurangnya dana yang harus disetorkan untuk mendapatkan bantuan dari aparat penegak hukum.
Daftar harga yang beredar mencantumkan berbagai jenis layanan, dari layanan dasar yang dianggap gratis hingga layanan “super premium” dengan biaya mencapai 400 juta rupiah. Tak hanya itu, pemohon bantuan juga diminta untuk menyerahkan berbagai dokumen administratif seperti ijazah, buku nikah, dan sebagainya. Hal ini menambah kekhawatiran publik tentang praktik transparansi dalam layanan kepolisian.
Wilson Lalengke, seorang tokoh pers nasional dan alumni PPRA-48 Lemhannas, menyatakan keprihatinannya terhadap buruknya kinerja Kepolisian Indonesia. Menurutnya, slogan “Kami Siap Melayani Anda” yang terpampang di kantor-kantor polisi hanya sekadar semboyan kosong. “Kondisi ini memprihatinkan, dan pelayanan yang buruk banyak dipicu oleh sistem kemalasan yang terjadi di lapangan jika tidak ada dana yang memadai,” kata Wilson.
Ia menjelaskan bahwa meski anggaran untuk Polri sudah mencapai ratusan triliun setiap tahun, pengelolaan yang buruk dan penyalahgunaan anggaran menyebabkan sistem pelayanan tidak berjalan optimal. “Dana yang disediakan APBN sebenarnya sangat cukup, asalkan dikelola dengan baik tanpa adanya korupsi oleh oknum-oknum di internal Polri,” jelasnya.
Wilson juga mengungkapkan bahwa dalam keadaan kekurangan dana, oknum di lapangan mengandalkan praktik meminta biaya operasional dari pemohon layanan polisi. Hal ini membuat proses pelayanan menjadi semakin sulit, terutama ketika ada sistem setoran kepada atasan. “Keadaan ini semakin parah dengan adanya persaingan di antara para polisi yang meminta biaya dari masyarakat yang membutuhkan layanan,” tambahnya.
Mengomentari unggahan yang beredar tersebut, Wilson Lalengke menyarankan agar Polri secara terbuka mencantumkan daftar harga layanan di setiap kantor polisi di seluruh Indonesia. “Anggap saja Polri adalah layanan publik swasta yang bertujuan mencari keuntungan yang akan disetorkan ke negara. Buatlah seperti restoran yang memberikan menu harga kepada pelanggan,” saran Wilson, menambahkan bahwa transparansi dalam hal ini akan membuat publik lebih memahami dan memilih layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penerbitan daftar harga tersebut akan mempermudah masyarakat untuk mengetahui biaya yang diperlukan untuk mendapatkan layanan kepolisian. “Ini adalah langkah transparansi yang penting agar masyarakat dapat melihat dengan jelas berapa biaya yang diperlukan untuk mendapatkan layanan,” tutupnya.
Dengan berkembangnya isu ini, masyarakat berharap adanya reformasi dalam pengelolaan dan pelayanan Kepolisian Indonesia yang lebih transparan, adil, dan akuntabel.
Ke depan, diharapkan Polri dapat memperbaiki sistem pelayanan kepada masyarakat agar lebih efisien dan tidak bergantung pada biaya-biaya yang membebani rakyat. Waktu untuk perubahan sudah tiba. (APL/Red)